PAMERAN DIPANTI PIJAT
Enaknya, pemijatnya yang masih polos atau malu-malu. Kenapa aku senang ke panti pijat..? Selain badan jadi enak (karena dipijat betulan), juga terutama bebas berbugil ria tanpa khawatir resiko apa-apa. Ini dia intinya.
Salah satunya yang terbaik adalah waktu aku pijat di daerah Lenteng Agung. Aku datang sekitar jam 14.00. Suasananya sepi (memang sengaja). Terus aku ke meja pendaftaran tamunya, yang jaga ibu-ibu.
“Mau pijat Mas..?”
“Iya,” jawabku singkat.
Dia langsung mengajak masuk ke dalam untuk menunjukkan kamar, dan aku disuruh menunggu sebentar. Dia memanggil pemijatnya.
Rupanya panti pijat ini lumayan sopan, tidak menunjukkan album yang berisi foto pemijatnya untuk dipilih. Kalaupun disuruh memilih foto dulu, aku akan pilih yang wajahnya masih polos/biasa-biasa saja, syukur-syukur kalau lumayan manis. Paling tidak mau deh yang wajahnya sexy/merangsang atau berpengalaman, yang body-nya aduhai. Biasanya yang model begini mijatnya asal-asalan, tidak karuan, maunya cepat saja ditawar, terus selesai. Apa-apaan nih, tidak seru. Bukan itu atau body yang kucari.
Tidak lama kemudian pemijatnya datang, cewek berumur sekitar 20 tahunan. Body dan wajahnya biasa-biasa saja tapi bolehlah, lumayan. Untung bukan model germo yang datang.
“Selamat siang, pijat ya Mas..?”
“Iya,” jawabku lagi-lagi singkat.
“Bajunya belum dibuka..” katanya.
Aku segera membuka baju dan celana panjang, tinggal pakai celana dalam saja. Dan aku langsung rebahan telungkup. Dia mulai memijat dari telapak kaki terus ke paha. Enak juga mijatnya, cuma agak kekerasan. Waktu kubilang, dia mengurangi tekanannya. Selanjutnya dia menawari mau pakai cream atau tidak. Aku setuju (sesuai skenario sih). Setelah mengolesi cream, dia mengulang pijatan dari kaki, naik ke betis dan ke paha. Sampai tahap ini, kulancarkan manuver berikutnya.
“Wah, celananya ntar kena cream nggak Mbak..?”
“Oh, kalo gitu bisa dibuka aja, nggak apa-apa..”
Ternyata, tahap kedua berjalan mulus. Sambil tetap telungkup, kuturunkan celana dalam pelan-pelan, terus dia membantu menarik sampai lepas di kaki. Aku sengaja melakukannya dengan proses yang pelan-pelan, tidak langsung ditunjukkan secara frontal, belum saatnya. Sambil dia bantu menurunkan tadi, kuatur posisi anuku (si otong) mengarah ke bawah/belakang. Jadi kalau dilihat dari arah belakang (posisi telungkup dan kaki mengangkang), di pangkal paha akan kelihatan bijiku, terus ada yang menyembul sedikit di bawahnya (ya kepala/topi baja si otong!). Dengan posisi ini, pasti waktu dia mijat sekitar paha akan menyenggol-nyenggol (he.. he.. he.., canggih ya skenarionya).
Aduh, udah mulai ser-seran hatiku. Soalnya walaupun baru sedikit, dia sudah mulai melihat barangku. Benar juga, waktu dia pijat sekitar paha dalam, biji dan si otong tersentuh tangannya. Kontan si otong bangun terjaga dari lelapnya. Gimanaa gitu rasanya, apalagi membayangkan dia pasti lihat dari belakang si otong sudah bangun memanjang. Pijatan naik ke pantat. Pantatku dipijat pelan-pelan, diputar-putar, diremas-remas. Wah, si otong makin kaku saja. Agak-agak sakit sih karena posisinya ketindihan badan, tapi mantap.
Sewaktu pijatan naik lagi ke pinggang, punggung dan leher, rangsangan menurun, dan otomatis si otong mengendor. Tidak apa-apalah istirahat dulu buat ronde selanjutnya yang lebih menegangkan dan full action. Disini aku menikmati juga pijatan seriusnya.
“Balik Mas..!” katanya perlahan.
Nah, ini dia awal ronde kedua yang kutunggu-tunggu. Dengan semangat ’45, aku berbalik. Jreeng.., aku telentang dan telanjang bulat di depan seorang cewek. Si otong melambai-lambai karena gerakan berbalik tadi. Meskipun sudah sering mengalami ini, aku tetap berdebar-debar. Badanku bergetar waktu merasa sekujur badanku terutama si otong disapu pandangan mata seorang cewek, istilah kerennya di-‘scan’. Si otong terasa panas. Berbeda dengan posisi tengkurap dengan kaki mengangkang, waktu telentang kedua kakiku dirapatkan. Teorinya, kedua pahaku rapat mengapit biji dan si otong. So, waktu dia memijat paha, otomatis ya.., itu benar, menyentuh lagi, oke nggak tuh.
Dia mulai memijat dari arah kaki lagi. Aku pura-pura ketiduran, tapi mata tidak dimeramkan benar, masih dapat mengintip sedikit. Nikmat rasanya melihat doi yang menganggap aku ketiduran, sekali-sekali melirik si otong yang sedang terangguk-angguk. Bulu kemaluanku merinding rasanya. Pijatan naik ke lutut, terus ke paha. Rangsangan mulai terasa, si otong kena imbasnya, perlahan-lahan menggelembung. Waktu sampai di paha atas, bijiku kegeser-geser lembut tangannya (lagi-lagi sesuai ‘GBHN’).
Sampai disini si otong sementara tidak kesenggol, karena sudah menjulang dengan gagahnya seperti monas. Bedanya monas, yang atasnya emas, sedangkan si otong puncaknya topi baja. javcici.com Apalagi waktu dia membuka kedua pahaku yang dikangkangkan untuk memijat pangkal paha terus naik memutari si otong di kiri-kanannya ke arah perut di bawah pusar. Buat cewek kalau tidak salah namanya daerah bukit Venus ya?
Gerakan memutar ini mengakibatkan si otong yang walaupun sudah berdiri bebas, tergeser tangannya. Alamak.., selanjutnya dia memijat-mijat, menekan-nekan di daerah bulu kemaluan ke arah pusar. Kemudian ditarik lagi ke bawah memutar ke selangkangan, terus ke bawah biji. Dipijat-pijat dan ditekan-tekan lagi disitu. Diperparah dengan tarikan ke atas ke kantong biji melalui tengah-tengah antara dua biji dan berakhir di pangkal si otong dan disitu ditekan seperti akupunktur.
Disini aku udah megap-megap, tidak dapat mengeluarkan suara, nafas saja susah. Kepalaku mau pecah rasanya kena rangsangan seperti ini. Si otong rasanya bergetar saking keras dan kakunya, seperti berubah jadi besi. Mungkin kalau disentil akan berbunyi tingg..
“Udah selesai Mas, ada yang masih kurang..?” katanya menarik kembaliku ke bumi dari suasana melayang-layang.
Nada dan ekspresi wajahnya biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa, padahal aku sudah sedemikian heboh rasanya. Aku agak bengong sebentar karena proses mendarat belum sempurna.
“Eeh iya.. iya..” kataku tergagap karena kepala atas dan terutama yang bawah masih nyut-nyutan, “Mmm.., boleh minta tissue Mbak..?”
“Boleh.., nih..!” katanya manis, “Emangnya buat apa sih..?”
“Ngg.. anu.. kepala saya pusing banget, harus ‘dikeluarin’ dulu..” jawabku tidak kalah polosnya. Pembalasan.
“Dikeluarin? Oh.. Mas maksudnya mau ‘main’..?” tanyanya, lagi-lagi dengan nada datar.
“Nggak, saya biasa dikeluarin sendiri.”
“Memangnya bisa dikeluarin sendiri..? Caranya..?” disini dia mulai antusias.
Waduh, tidak mengerti ngocok/onani/masturbasi ini cewek.
“Ya bisalah, dikocok-kocok kayak gini, ntar juga keluar.” jawabku sambil mulai melingkarkan jari-jari tangan kiri menggenggam si otong, kemudian membuat gerakan mengocok lembut ke atas ke kepala dan ke bawah ke pangkalnya.
“Emangnya enak..?” perhatiannya semakin meninggi, begitu juga spaning-ku karena dialog ini.
“Uenak buanget.. kalo nggak enak mana mau saya ngocok kayak makan obat tiga kali sehari, tiap hari.” jawabku sejujurnya sambil mengatur nafas.
Terus obrolan kulanjutkan sambil terus mengocok perlahan-lahan menikmati tatapan matanya yang terfokus pada tanganku yang bergerak naik turun menyusuri batang si otong.
“Emangnya kamu nggak pernah? Cewek kan sama aja, bisa juga main sendiri.”
“Ih, nggak pernah tuh, caranya juga nggak tau. Pernah denger sih, tapi nggak jelas,” jawabnya tanpa melepaskan matanya dari si otong yang sedang kupijat dengan mesranya.
“Kalo soal caranya, macem-macem, biasanya pake tangan sendiri dielus-elus, terus jarinya dimasukin dikocok-kocok, ada juga yang pake alat dari plastik yang bentuknya kayak barang cowok, ini lebih nikmat. Atau yang paling gampang, enak dan murah pake timun, atau terong yang pas bener bentuknya.”
Sudah kayak pakar seksologi saja nih aku. Dia hanya tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan. Setelah itu dia diam, tapi berdiri semakin mendekat persis di sampingku dengan mata yang tidak berkedip.
Uuuh, luar biasa sensasinya. Bayangin, aku masturbasi dengan ditonton penuh perhatian oleh seorang cewek! Ini puncak atau level tertinggi kenikmatan bagi seorang exhibionist sepertiku. Kalau ketelanjangan kita dilihat orang itu sudah nikmat, apalagi masturbasi. Karena masturbasi adalah kegiatan paling rahasia dari seseorang. Dilihat lawan jenis dan penuh perhatian lagi. Sampai gemetar tanganku yang lagi mengocok si otong.
Tanpa saling bersuara, aku terus mengocok di bawah tatapan matanya. Tangan kananku mengusap-usap biji. Makin lama kocokan semakin kupercepat dan terus dipercepat. Nafasku semakin memburu. Matanya semakin membulat menatap gerakan tanganku, sementara kebalikannya aku menatap tanpa berkedip ke wajahnya menikmati ekspresinya yang antusias, heran, pengen tahu dan sebagainya campur aduk.
Akhirnya aku merasa puncakku hampir sampai, gunung berapi dalam genggamanku mau meletus memuntahkan kenikmatan. Aku memiringkan badan menyesuaikan posisi kepala si otong supaya muntah tepat di tissue yang kuletakkan di kasur.
“Udah mau keluar ya Mas..?” tanyanya, tapi aku sudah tidak dapat mengeluarkan suara.
Tanpa menunggu jawaban, eh.. dia malah berjongkok persis di samping tissue. Mungkin ingin melihat lebih dekat dan jelas saat-saat bersejarah baginya yang sebentar lagi akan terjadi. Melihat ini aku semakin parah rasanya. Tanpa tertahan lagi, dengan kocokan kecepatan supersonik dan pandangan sekitar yang mengabur karena mataku semakin terfokus hanya kepada wajah dan ekspresinya, si otong meledak sangat dahsyat memuntahkan kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sentakan ledakan yang terjadi membuat seluruh tulang-tulang serasa tercabut, jantung sudah tidak tahu masih ada apa sudah ikut meledak. Ledakkan pertama ini saja sudah memuntahkan cairan kenikmatan dalam jumlah banyak. Setelah itu masih diikuti ledakan-ledakan selanjutnya yang membuat cairan kenikmatanku tidak tertampung di tissue dan meluber ke kasur. Badanku masih mengejut-ngejut dan tersentak-sentak. Sepertinya aku kehilangan kesadaran sebentar karena kenikmatan yang belum pernah terasa sesempurna ini. Rupanya efek melayangnya cukup panjang, walaupun si otong sudah selesai dan kenyang memuntahkan kandungannya.
Perlahan-lahan kesadaranku mulai kembali, mata kubuka. Pertama-tama yang kulihat si cewek itu. Kelihatannya dia sedang mengelap lengannya dengan tissue.
“Ih, si Mas keluarnya sampe keciprat ke tangan saya.”
Aku hanya dapat tersenyum, “Maapin deh, kan lagi nggak kontrol tadi.” (Untung tidak ketembak mulutnya).
“Lagian keluarnya bisa banyak gitu, apa memang selalu segitu kalo keluar Mas?”
“Ya nggaklah, tergantung situasi aja.” jawabku lemas sekali, mau menggerakkan tangan saja berat rasanya.
Selanjutnya dia dengan hati-hati mengangkat tissue basah kuyup dan luber cairan putih itu dari kasur dengan kantung plastik.
“Tuh kan si Mas, musti ganti kasur deh saya. Banyak banget sih keluarnya, orang yang begituan beneran aja nggak segitu banyaknya,”
Lagi-lagi aku hanya dapat tersenyum.
“Mau mandi atau dilap air anget aja Mas?” tanyanya.
“Dilap aja deh, udah nggak kuat berdiri nih..”
Sambil mengelap badan, dia mulai bicara lagi, “Ternyata bisa ya Mas dikeluarin sendiri..”
“Kan udah lihat sendiri buktinya. Eh kamu sendiri gimana, ada minat nyoba main sendiri, enak lho nggak tergantung orang lain.”
“Au ah..,” katanya sambil tertawa cekikikan, tidak jelas maksudnya.
Waktu sampai giliran si otong yang di lap, dia melingkarkan lap hangatnya membalut si otong sambil diremas-remas, “Hih, kamu ini muntahnya habis-habisan yah..!”
Karena dibungkus lap hangat dan diremas-remas, si otong mendadak bengkak dan memanjang lagi sampai menonjol keluar topi bajanya dari lipatan lap.
“Yah, bangun lagi sih..” katanya heran.
“Kamu juga sih ngajak ngobrol dia, ya dia nyautin..”
“Terus gimana nih..?”
“Apanya yang gimana?” aku balik bertanya.
“Iyaa, apa musti dikeluarin lagi?”
Mendengar ini semangatku bangkit lagi, lupa sama badan yang sudah segitu lemasnya tadi.
“Tergantung, kalo waktunya masih ada dan belum diusir” kujawab sambil berharap-harap cemas.
“Terserah deh, kalo mau dikeluarin lagi silakan. Tapi jangan di tissue lagi.. dimana ya..?” katanya sambil mencari-cari.
Tanpa membuang waktu, aku sudah mulai mengocok lagi, tapi sekarang posisinya duduk di pinggir tempat tidur. Lucu juga membayangkannya, aku telanjang bulat mengocok di pinggir tempat tidur, sementara ada seorang cewek berpakaian lengkap yang lagi sibuk cari tempat buat menampung cairan hasil kocokanku.
“Nah disini aja deh langsung..,” katanya sambil mengambil tempat sampah dari kolong meja, dan meletakkan di lantai tepat di bawah si otong yang sedang kukocok.
Selanjutnya dia berdiri memperhatikan kegiatanku. Lagi-lagi caranya melihat dan memperhatikan membuatku merinding sampai ke ujung bulu kemaluanku dan terangsang hebat.
“Eh, nanti malah berceceran di lantai..” katanya sambil mengangkat tempat sampah itu dan memegangnya persis di depan mulut si otong yang lagi megap-megap karena kukocok secepat kilat.
Pemandangan dia menampung ini efeknya sangat fantastis buatku. Badanku tergetar hebat. Mendadak gelombang kenikmatan itu datang bergulung-gulung, turun dari otakku terus ke bawah, dan akhirnya meledak di mulut si otong. Sekilas aku mendengar suara cipratan yang berkecipak ketika cairan yang diledakkan dan meluncur dengan kecepatan tinggi dari mulut si otong mengenai dasar tempat sampah plastik yang dipegang cewek itu. Setelah itu si otong masih mengejut-ngejut beberapa kali melepaskan tembakan susulan, walaupun tidak sebanyak ejakulasi pertama.
Habis badanku rasanya. Cewek itu hanya geleng-geleng kepala sambil meletakkan tempat sampah kembali ke kolong meja.
“Gile bener..,” hanya itu komentarnya.
Sambil menungguku pakai baju, cewek itu bertanya lagi, “Yang kedua ini keluarnya lebih cepet ya Mas..?”
“Yah soal itu sih susah ditentuinnya, nggak bisa dipasti-pastiin bener,” jawabku sekenanya.
Padahal sebenarnya yang pertama itu harusnya lebih cepat, soalnya rangsangannya kan lebih besar. Tapi karena ingin pameran dan memberikan pertunjukan yang terbaik untuk penonton tunggal ini, ya kuatur-atur deh.
“Terus kalo main betulan sama cewek emangnya si Mas nggak suka atau gimana sih..?”
Waduh, pertanyaannya semakin berat, untung kamar sebelah tidak ada tamunya.
“Yah yang jelas sampai sekarang saya lebih suka ngocok sendiri. Buktinya saya nggak ngapa-ngapain kamu kan..? Biar kamu telanjang bulat, saya nggak akan bahaya buat kamu, paling-paling saya ngocok lagi, he.. he.. he..”
“Nggak pegel ngocok tiap hari..?”
Astaga, pertanyaannya membuatku jadi bingung juga.
“Lha enak kok.., nggak ngerepotin lagi..”
Setelah membereskan masalah administratif, aku keluar dan pergi. Sampai saat ini aku masih belum memutuskan, apakah akan kembali lagi ke tempat itu atau tidak. Soalnya dari pengalaman yang sudah-sudah, pertemuan yang kedua kalinya sudah tidak ada sensasinya lagi. Sensasi itu selalu timbul dari orang yang belum pernah dijumpai/baru. Kalau orangnya yang itu-itu juga, dia sudah tahu kebiasaan kita, mau ngapain selanjutnya dan lain-lain. Tidak seru.,,,,
TAMAT