Kulirik kearah dinding, jam menunjukkan pukul 12 lewat, rasa keingintahuanku segera hilang, ketika kudengar suara mobil seperti menekan gas dalam-dalam, seolah untuk memastikan bahwa itu adalah hembusan yang terakhir yang terbuang, sebelum mematikan mesin. Tante mala dan Tante Marissa pulang !.
“Hai Fan, belom tidur?” seru Tante Marissa, saat melihatku membukakan pintu untuknya,
hmmmm, sepertinya tercium hembusan napas yang beraroma minuman keras dari mulutnya, kulihat ia berjalan melewatiku terburu-buru, aku memandangnya wajahnya sekilas dan menjawabnya,
“Belum Tan, belum ngantuk nih” kataku sekenanya, dan sepertinya beliau tak menunggu jawabanku,
“Fan, liat tuh Tante Mala, tolong bantuin dia gih “ kata Tante Marissa lagi, sambil menunjuk kebelakangnya dan kemudian berusaha meneruskan langkahnya tanpa menunggu reaksiku.
Aku melihat memalingkan mukaku kearah yang ditunjuknya, dan kulihat disana, ke arah mobil, tante Mala tampak duduk dikursi depan, pintu mobil terbuka namun beliau kelihatan masih duduk, berusaha dengan susah payah untuk turun dari mobil.
“Hihihihihihi, lagian gak biasa minum, pake ikut-ikutan minum, ya begitu deh “ kata tante Marissa sambil cekikikan,
“Aduh tante kebelet nih, pengen pipis “ dan selanjutnya beliau melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa.
Aku segera keluar menghampiri mobil di depan, kulihat Tante Mala, tampak memejamkan matanya, entah tertidur atau tidak, namun dengan perlahan aku meraih tangan beliau, menggamitnya, menarik keluar tubuh beliau, kulihat mata beliau terbuka, tersenyum seakan senang melihat kedatanganku, tersungging senyuman dari bibirnya,
“Hai Fan “ hanya itu saja kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Pasrah, tak ada gerakan meronta atau melawan, ketika aku menarik tubuhnya, menaruh lengannya dibahuku, memapahnya menuju ruang dalam.
Entah sadar atau tidak, tante Mala menurut saja, dari mulutnya terdengar kata-kata meracau yang aku tidak mengerti, pikiranku hanya terfokus pada membawanya ke dalam rumah, entah sepertinya saat ini aku tidak memikirkan hal yang lain, walaupun kurasakan payudara Tante Mala menempel ketat pada badanku, mungkin kalo saja dilain kesempatan, itu merupakan hal yang selalu kuinginkan, membopongnya, mengambil kesempatan sambil meremas-remasnya, namun saat ini hal tersebut kubuang jauh-jauh dari pikiranku.
“Mabok bae… mabok bae….”jah kayak lagu aja, makanya bu, kalo mo mabok liat-liat dulu, untung ada
Tante Marissa, coba kalo sendiri, mungkin dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti ini, dan melihat pakaian yang dikenakannya, akan mengundang kaum adam untuk menyentuhnya, duh bisa diapa2in nih Tante, bisa-bisa diperkosa asal-asalan, hehehe..
Lagian apaan sih yang diminum ? Chivas, Vodka, Martini, Scotch, Apa Tomi, alias topi Miring ? kalo yang minum ini katanya topinya musti dimiringin biar keliatan jalannya lurus, yee walaupun gw orang kampung, gue juga tau nama-nama minuman keras, pan gw sering nonton pilem, jadi gak gaptek-gaptek amat soal gituan, minuman.
Emang elo sekali mo mabok, minuman apaan aja dicampurin, dioplos, mending minuman, lah kadang bukan minuman dicampurin, alkohol 70%, kratingdaeng, spirtus (yang ini bukan minuman bro, ini biasa gw pake buat nyalain patromak, lampu yang dipake mas kiwil buat dagang nasi goreng !), semuanya dah masukin, biar cepet fly, sekalian aja loe masukin, minyak tanah, obat merah, kunyit ama jahe, sekaligus buat ngobatin korenglo ! huakakak.
Eh sekalinya dibawa ke bar, bingung, gak tau mo mesen apaan, bingung ama nama yang aneh-aneh, takut salah, begitu ditanya mo pesen minum apaan, maen jawab aja, “Jeniper” kali ini bartender-nya yang bingung, perasaan dari deretan minuman sebanyak ini, gak ada deh yang namanya Jeniper, lah iyalah, jeniper yang dimaksud ‘kan “Jeruk Nipis Peres”, xixixixi
Perlahan, selangkah demi selangkah, tubuh mulus, sintal, bahenol ini kupapah menuju kamar, kamar tengah yang kosong, yang sebelumnya ditempati olehnya dan Moza. Kuletakkan tubuhnya di pinggir ranjang, mendudukkannya, kemudian merebahkannya, aku angkat kakinya, dan menaikkannya keatas.
Entah sepatunya terlepas dimana, yang jelas saat itu kakinya yang telanjang, dengan betis jenjang, kusejajarkan dengan tubuhnya yang sudah terbaring. Ada rasa aneh menghinggapi dadaku, mengingat kejadian malam dahulu, ketika tubuh mulus yang dimiliki wanita cantik ini menggoda imanku. Teringat akan kejadian dimana aku menikmati tubuh indah ini, melepaskan hasrat birahiku, menyentuh bagian-bagian yang selama ini tertutup dan menikmatinya.
Segera aku lepas bayang-bayang itu, membuangnya jauh-jauh, aku teringat akan wanita yang saat ini tidur dikamarku, Moza, ya, hanya wanita itulah saat ini yang ada dibenakku, hanya ada satu pilihan yang harus aku pilih, anaknya atau mamanya !
Dengan posisi, seperti itu, terlihat beliau tampaknya setengah sadar, mungkin akibat rasa pusing menderanya, sehingga, begitu tadi kuletakkan dan kubaringkan, dan sepertinya beliau langsung mencari posisi yang enak, berbalik, membuat pakaian bawahnya tersingkap hingga kebatas paha meperlihatkan celana dalamnya, serta mungkin tanpa disadarinya saat ia berbalik, membuat tali pakaian yang menyangga dipundaknya melorot, dan itu yang membuatku terhenyak, bagaimana tidak, hal tersebut membuat bagian atas bajunya melorot sebagian dan memperlihatkan buah dadanya yang mungkin semenjak tadi merasa sesak berada didalam baju yang dikenakannya dan itu sempat membuatku sedikit mupeng.
Kutinggalkan beliau, kututup pintu kamar rapat-rapat, dipikiranku terlintas, seandainya beliau terbangun dan kemudian bermaksud ke kamar kecil atau apalah yang membuat dia keluar kamar, tentu pintu kamar akan berbunyi ketika dibuka, dan itu cukup untuk membuatku bersiaga, ya minimal bila aku sedang “mengerjakan” sesuatu lagi terhadap Moza, aku bisa dengan cepat menutupinya… hehehe.. dasar !.
Lah iya dong, coba aja bayangin, seandainya dengan pintu yang tidak dikunci seperti tadi, melihat aku sedang khusyu dan serius, tiba-tiba dari pintu nongol Tante Mala, yang ada urusan bisa runyam, celaka !, bisa-bisa tengah malam aku dimaki-maki, diomelin, kaya tetanggaku dulu, diomelin ama bininya gara-gara pulang pagi, disangka ngapelin cewek RT sebelah. Baru sampe pintu, prang-prang, dilempar piring, besoknya dicengirin sama temen tongkrongan katanya
“dirumah elu semalem ada UFO ya ?” alias piring terbang, xixixixixixixixixixi.
Ya sapa yang mau coba ?, kalo kaya gini kan minimal, begitu bunyi “krek”, artinya pintu kamar sebelah dibuka, aku bisa cepat-cepat narik celana, nutupin si dede atau minimal nutupin pake selimut, terus pura-pura tidur deh, sembari dingorok-ngorokin dikit, hehehe…aman.
Mulanya aku hendak kembali ke kamar tidurku, namun langkahku terhenti, sejenak seperti ada yang menahan langkahku, ya, terlintas dipikiranku bahwa ada seseorang dirumah ini, yang mungkin masih dalam keadaan sadar, Tante Marissa !, ya beliau memang kelihatannya belum tidur, bukankah barusan, sewaktu pulang, beliau langsung masuk kamarnya dan sepertinya beliau buru-buru langsung menuju kamar mandi yang berada didalam kamarnya. Dan satu lagi yang kuingat bahwa aku belum menutup pintu depan, saat membawa Tante Mala tadi, karena mungkin aku terfokus pada beban yang aku bawa sehingga aku tak sempat menutupnya.
Aku berbalik, melangkah kearah depan, menuju ruang tamu, bermaksud untuk menutup pintu dan sekaligus memeriksa bahwa keadaan aman, walaupun mungkin didepan sudah ada mang Dharta yang menjaga, tapi tetap saja kita harus menjaga segala kemungkinan kan ?. Beberapa langkah di depan, sebelah kiri, kulihat pintu kamar Tante Marissa terbuka sedikit, dan lampu masih menyala terang. Kulangkahkan kakiku, dan memang bila aku hendak ke ruang tamu disana, mau tak mau aku melewati kamarnya, dan sepertinya ada sesuatu yang mengarahkanku untuk menoleh kearah kamar Tante Marissa, langkahku yang tadinya cepat, seakan ada tembok didepanku yang menyuruhku untuk berhenti.
Kulihat di dalam kamar, Tampak Tante Marissa sedang menggunakan handuk, beliau sepertinya baru selesai membersihkan diri, atau mungkin beliau habis mandi, duh, diudara sedingin ini, mungkin kalo aku, jangankan mandi, cuci muka aja mungkin aku akan beku kedinginan, tapi kalo beliau, ya mungkin udara sedingin ini sudah biasa, karena di negara yang sekarang dia tinggali suhu udaranya lebih dari ini.
Keluar kamar, aku menuju ruang keluarga, melewati kamar Tante Marissa, pintu kamar terbuka sebagian, seperti instink saja, kepalaku menoleh ke arah dalam, dan upss..!
Di dalam kamar kulihat Tante Marissa tampaknya sedang mengganti pakaiannya, duh sepertinya beliau cuek saja, pintu tidak ditutup. Kulihat beliau sedang menanggalkan handuk, melemparkannya ke atas ranjang, mungkin beliau habis membersihkan diri dari kamar mandi, biasalah wanita, sebelum tidur biasanya membersihkan sisa make-up yang menempel diwajahnya, mandi ? masa sih ? kalo aku disuruh mandi tengah malam dingin dingin begini abis hujan, dibayar berapa juga aku masih mikir, tapi gak tau kalau beliau, mungkin udara seperti ini di negaranya sana dibilang panas kali.
Tapi yang jelas, yang membuatku tercekat adalah, saat ini beliau seperti mematut-matut diri didepan kaca, dan tanpa mengenakan sehelai benangpun !. padahalkan ada lelaki dirumah ini, mana udah tengah malam lagi, udara dingin begini, bikin yang melihat jadi mupeng ! tak enak rasanya kalo aku terlihat berdiri melongo didepan kamarnya, bisa-bisa si dede yang sekarang udah lemes tak bertenaga, beringas kembali, gak ah, mendingan aku pergi. Aku menuju ruang keluarga, dimana kulihat televisi menyala, mungkin karena tadi tidak dimatikan dan saat listrik hidup kembali, otomatis televisi juga hidup.
Mataku memang mengarah ke televisi, namun aku tak menyimak acara yang ditayangkan, pikiranku jadi melayang entah kemana, membayangkan tubuh Moza, Tante Mala yang sedang mabuk, serta Tante Marissa yang berbugil ria dikamar, pikiran kotor kembali menerjangku, sepertinya saat ini aku bagaikan raja minyak, yang bingung untuk memilih wanita mana yang hendak kujadikan sebagai teman tidurku malam ini.
Memikirkan itu malah membuat dedeku yang tadinya sudah lemas terkantuk-kantuk, ditambah hawa dingin yang menyengat membuatnya menjadi segar dan menegang kembali, duh… beberapa saat lamanya aku membayangkan, membayangkan bagaimana jika aku dikerubuti oleh para wanita ini, membayangkan bila mereka semua tidur satu kamar denganku, memperebutkanku, 4some, saling meminta untuk aku puasi, hehehehe, dan lamunanku sepertinya buyar, ketika…..
“Loh gak tidur Fan ?” terkaget aku mendengar suara dibelakangku, cepat aku menarik tanganku yang sedang berada didalam celanaku, untunglah saat itu bagian bawahku ditutupi oleh bantal besar yang tadi kupakai sebagai penghangat.
Aku menengok kearah sumber suara, kulihat Tante Marissa, sudah berdiri beberapa langkah disampingku, melihat kearahku, menatapku ramah.
“eh Tan, belum nih Tan, belum ngantuk, ini mata belom mau dirapetin, mungkin tadi gara-gara tidur siang kelamaan kali” kataku menjawabnya, sambil menggeser badanku, yang tadinya rebah, kini berusaha bangun dan duduk, tak enak rasanya berbicara dengan orang yang lebih tua, sambil tidur.
Kulakukan untuk menghormatinya, padahal saat itu aku juga agak tercengang melihat Tante Marissa, yang hanya mengenakan baju tipis, malah dapat kubilang transparan. dengan bagian dadanya yang besar tanpa bra, seperti tercetak dengan jelas, putingnya yang kecoklat-coklatan, bisa dibilang beliau saat ini setengah telanjang, sepertinya hawa dingin bukan masalah baginya.
Ruangan keluarga yang hanya diterangi oleh lampu dinding yang hanya memancarkan sinar temaram, sepertinya tidak mampu untuk menutupi kemolekan tubuh Tante Marissa, duh seandainya lampu tengah yang menyala mungkin seluruh tubuh tante Marissa akan terlihat jelas, sayang sekali, sayang seribu sayang.
Kupikir dia menyapaku hanya sebatas say hello saja, kemudian meninggalkanku memasuki kamarnya, untuk tidur, namun ternyata tidak, beliau melangkah mendekatiku, kulirik beliau dengan sudut mataku, repot nih, jangan sampe dia menghampiriku, kemudian duduk disampingku, terus merayuku, kemudian mengajakku untuk melakukan ritual seks, membuat terkapar, setelah melampiaskan hasrat kami berdua, yeeee ngarep.
Dan sayang seribu sayang saudara-saudara, beliau ternyata duduk disofa, hehehe…buyar deh angan-anganku tadi !.
Aku yang duduk dibawah menggeser maju ke depan, gak enak rasanya dibelakangku, disamping sebelah kiriku duduk wanita cantik, sementara aku cuek didepannya, menghadap ke depan, ke arah televisi, seakan tak perduli ada Tanteku yang mungkin ingin bertatap muka denganku, bukankah selama ini aku belum pernah mengobrol dengannya ? maksudku mengobrol berdua saja dengannya, biasanya aku selalu mengobrol atau bercakap-cakap dengannya, dan pasti disitu ada orang lain lagi, entah Moza, Tante Mala, atau Mang Dharta. Sebetulnya bukan hanya itu juga, tapi kan sewaktu beliau duduk kemudian seperti hendak berbaring, beliau mengangkat kakinya, lah sapa yang mau, dengkulnya nyeruduk kepalaku, bisa-bisa puyeng kepalaku, kesamber dengkul, ya mendingan aku geser… he..! dan ….
Benar saja, malam itu aku bercakap-cakap dengan Tante Marissa, mulai dari acara yang didatanginya barusan, keluargaku, pekerjaanku, keluarga Tante Mala, anak-anaknya hingga persoalan-persoalan kecil, menyangkut kehidupan keluarga besar kami, setelah beliau tinggalkan ke luar negeri, malam semakin larut, mungkin karena bahan pembicaraan telah habis, ataupun pikiran kami blank sehingga mentok untuk memulai bahan pembicaran lain, terdiam kami berdua sesaat, hingga akhirnya mata kami hanya memandang kepada acara televisi, dan tanpa sengaja, ketika acara televisi mensensor adegan ciuman, beliau membandingkannya dengan acara televisi dinegara dimana dia menetap.
Pembicaraanpun berlanjut lagi, hingga masalah seks dinegara dimana dia tinggal, mulai dari kehidupan remaja disana, dimana ia menghabiskan masa mudanya, perilaku seks mereka, hingga ke anak-anaknya yang katanya untung karena anak 2 dan laki-laki semua, beda dengan Tante Mala yang anaknya perempuan semua, hehehe…kalo disana punya anak perempuan dan umur diatas 15 wuih, bisa was-was melulu, ya ngertilah..
Entahlah sepertinya beliau sangat memahami permasalahan seputar seks, malah kalo boleh kutebak sepertinya beliau benar-benar sudah tidak indonesiani lagi ..,ya seperti menganut semacam faham seks bebas mungkin, namun katanya selama dilakukan secara aman, oleh dua insan yang saling menyukai, why not ?, begitulah kesimpulan yang kudapat dari pembicaraan dengannya. Dan satu lagi, kalo aku berbicara dengannya dan tanpa sengaja menatap kearahnya maka, kepala atas dan kepala bawahku semakin pusing ! hehehehe…
Beberapa saat percakapan berlanjut, malam semakin dingin, kulihat Tante Marissa sepertinya tidak merasakan dingin sedikitpun, mungkin karena terbiasa atau pengaruh minuman yang diminumnya tadi membuatnya tetap hangat, terlihat dari rona mukanya yang rada memerah, namun yang membuat aku heran adalah, sepertinya ia tidak ada tanda-tanda mengantuk sama sekali, malah kulihat dari mulutnya keluar kata-kata yang semakin lancar saja, hingga, aku memutuskan untuk merebahkan diri, dengan bantal besar satu-satunya yang ada diruangan ini, menyandarkan kepalaku diatasnya.
“Dingin Fan ?” katanya kepadaku, mungkin karena melihatku merapatkan kedua tangan lantas mengepitnya dengan pahaku, padahal memang selain untuk mengusir hawa dingin, sekalian juga untuk menutupi dedeku yang kelihatan semakin membesar, ya maklumlah, sapa juga yang kuat melihat lawan bicara seperti dia, udah cantik, seksi, molegh, dan dengan pakaiannya yang mengundang selera, duh seandainya dia …, mungkin sudah kuserang sedari tadi.
“Iya tan, lumayan nih !” jawabku sambil mataku menatap sekilas kepadanya, dan kemudian kembali mengarahkannya kepada acara televisi didepan, tak enak rasanya memandang terus kepadanya, bisa-bisa nanti aku dikiranya napsu melihat dia, padahal sih…. Iya…!
Dan tanpa kuduga, tante Marissa yang semula dalam posisi rebah dengan kakinya berada didekatku, dan kepalanya berada diujung sebelah sana, mengangkat badannya, bangun, yaaah, ada beberapa pikiran yang saat itu langsung menyelinap di otakku, ia bangun mungkin rasa dingin juga menyergapinya, sehingga ia bermaksud menyudahi percakapan kami dan bermaksud untuk masuk ke kamar, kedua mungkin ia merasa pegal karena dalam posisinya dengan kepala diujung sana, ia akan mudah melihat kepadaku saat bercakap-cakap, namun pada saat matanya mengarah ke televisi, maka membuat kepalanya harus menengok ke kiri, dan itu membuatnya pegal, sehingga ia harus bangun dan berganti posisi dengan kepalanya berada disebelahku, sehingga kali ini kalau mau pegal lagi maka kepalanya harus menengok ke kanan terus, hehehe..
Duh sepertinya sayang sekali kalau ia harus kembali ke kamar, padahal aku mengharapkan dia agar tertidur pulas disitu, disofa panjang itu, jadi kan kalo tiba-tiba ada acara televisi yang kiranya dapat membangkitkan rasa hornyku, mungkin, beliau dapat kujadikan sebagai bahan coli juga… hehehe, dan kalo ia berbalik, rasanya juga sedikit disayangkan, pandangan yang sedari tadi aku nikmati, saat menoleh kearahnya. Dalam cahaya ruang yang remang-remang seperti ini, sehingga bola mataku tak terdeteksi ke arah mana aku memandang, sehingga aku bisa dengan puas melihat kearah paha putih, panjang dan mulus itu, berikut isi-nya.
Dan ternyata perkiraanku semuanya salah……
Tante Marissa, dengan bertumpu pada telapak tangannya kini malah memerosotkan badannya, menjatuhkannya ke karpet dibawahnya, kini posisinya lebih dekat kepadaku, dan dengan duduk seperti itu posisi kepalanya tidak terlalu jauh denganku sehingga mungkin enak buat kami untuk melanjutkan percakapan tanda salah satu harus ada yang mendongak dan menunduk pada saat memandang. Namun ternyata keterkejutanku belum cukup sampai disini….!
Berada kurang lebih satu langkah disebelahku, beliau kini menggeser tubuhnya beringsut dan bergerak menghampiriku, mencari posisi pantatnya agar sejajar dengan posisi pantatku, mungkin ia hendak mengukur jarak antara tubuhnya dengan posisi bantalku, ia yang semula dalam posisi duduk kini merebahkan tubuhnya, merapat denganku, ikut menempelkan kepalanya pada bantal besar yang aku gunakan. Kaget aku karena tidak menyadari akan tindakannya dan secara reflek aku menggeser tubuhku, berusaha menjauh, namun sepertinya gerakan yang aku lakukan dianggapnya bukan untuk menjauhinya, tapi seolah mempersilahkannya, memberi ruang baginya untuk berbagi bantal dengannya !.
Terdiam aku beberapa saat, bingung harus melakukan apa, kalau aku saat ini bangun dan pindah, kemudian bermaksud kembali ke kamar, tentunya akan membuatku tak enak, ini mungkin akan menyinggungnya, ya iyalah, dia mungkin ingin aku terus bercakap-cakap dengannya kemudian mendekatiku dan aku malah meninggalkannya, gak enaklah, emang aku pergi karena merasa gak nyaman dekat dengannya, emang tante Marissa badannya bau ?, atau napasnya bau ?
Sementara mataku tetap mengarah ke televisi, punggungku merasakan ada sesuatu yang menempel, lengan bahu Tante Marissa, aku melihatnya sekilas dengan ujung mataku, sepertinya kurasakan Tante Marissa juga menatapku, seperti sedang memperhatikan seluruh tubuhku. Bingung aku, otak ini rasanya seperti blank, tak tahu apa yang harus kulakukan.
“Fan, kamu teh umur berapa sih ?” tanya Tante Marissa,
mungkin ini dilakukannya untuk memecah kesunyian, memang tak enak rasanya bila berdua-duaan tapi tak ada komunikasi sama sekali,
“23 Tan, hehehe… udah tua ya ” kataku menjawabnya sekaligus memberikan pernyataan dan pertanyaan yang kukira dapat memancing percakapan lebih jauh.
“Ya Belum Atuh, Ngora Keneh” sahutnya lagi, maksudnya masih muda dalam bahasa sunda, biasalah dikeluarga kami, bahasa selalu dicampur adukkan, kadang bahasa indonesia campur sunda, kadang bahasa sunda campur indonesia, lah kok bukannnya sama aja ? hehe..yang jelas bukan bahasa sunda campur bahasa sunda, kalo itu mah sunda murni, hehehe…
“Eh Fan, ari kamu teh pernah ML belum ?” tanya Tante Marissa, yang jelas membuatku tersentak kaget, dan entah aku harus menjawabnya bagaimana, mungkin karena rasa terkejutku,
aku membalikan badanku yang semula membelakanginya, kini terlentang, sejajar dengannya, dan tanpa sengaja sikutku menyentuh payudaranya, rasanya benda lunak itu, terasa kenyal dan kencang, kucoba untuk berpura-pura tak menyadarinya, dan berkata “Ih Tante, ada-ada aja nanyanya !” sahutku sambil pura-pura terkekeh.
“Halah… jangan bohong deh ma Tante, kamu udah belum ?” cecarnya kepadaku sambil senyam-senyum, “eh, tapi disini kan beda ya sama disana “ tukasnya lagi, maksudnya di indonesia, ya iyalah beda, masa sama, disini tau sendiri, ya kan ?, capek deh kalo musti gw jelasin, mending loe tanya aja ma pak RTloe sono !.
“Duh kasian banget tuh si Dede udah 23 taon masih dipake buat kencing doang !, hahahaha”, aku gak menjawabnya, hanya berkata dalam hati,
“duh sialan nih tante”, sambil garuk-garuk gak gatal aku jadi berpikir lagi,
“Udah belom ya ?” pikiranku jadi menerawang, ingat kejadian-kejadian dahulu, kalo aku ingat peristiwa aku dengan Tante Sandra, Tante Mala, apakah itu dihitung ML ? kan mereka semuanya dalam keadaan tidak sadar, jadi aku melakukannya hanya satu arah, gak bidirectional, jadi dihitung gak nih ?, terus waktu dengan Ira temannya Maya, sepertinya aku gak menikmatinya, wong keliatannya juga si Ira ama Nita lagi teler, gimana ? dihitung gak ?, gak deh.. gak usah dihitung, ntar malah kena pajak lagi !
“Eh, tapi kan kalau self service kamu pernah kan ? hayoo !” yah, dia ngeledek aku, jelaslah, masa coli gak pernah sih, malah kalo dihitung-hitung, mungkin kalkulator udah gak cukup kali digitnya.. heheheh.. aku bingung harus ngomong apa, yang ada jadi blingsatan sendiri, aku cuma senyum and cengengesan aja, mungkin karena sunyinya, jadi cengengesanku terdengar jelas olehnya, sehingga rasanya itu cukup menjawab pertanyaannya bahwa hal itu pernah atau malah sering aku lakukan.
“Tuh kan… yee… cengengesan, berarti iya !“ sahutnya tergelak, serasa memperoleh kemenangan.
“Eh Fan, kamu kalo self service gitu, apa yang kamu bayangin ?” sahutnya lagi,
“Tante gak pernah tuh, jadi tante gak tau, ya cuma yang tante tau, sebagian besar kaum laki-laki tuh suka melakukan masturbasi ya?, trus kalau kamu sendiri apa yang kamu bayangin ?“ katanya lagi, kalo kulihat membicarakan tentang seks menurut beliau adalah hal yang wajar, mungkin karena beliau sudah lama tinggal di luar negeri sana, jadi sepertinya membicarakan perihal seks adalah seperti membicarakan bumbu masakan saja.
“Ya Tante, ya jelaslah bayangin perempuan, masa ngebayangin cowok !” aku tertawa, namun jelaslah tawaku garing, susah kan ngomong ma cewek masalah gituan, yang ada malah kitanya yang gugup.
“Ye bukan, maksud Tante, kamu ngebayanginnya gimana ?, bagian tubuh wanita yang mana yang kamu suka ? trus ngapain ? kan kalo ML jelas gak perlu bayangin apa apa… just do it !”, kata Tante marissa lagi,
“Ah tau ah Tan !” aku ngeles sambil mengangkat tanganku pura-pura menutup mataku sekaligus kupingku, serasa ingin menyudahi percakapan ini.
“Yee si Fandi, cuek aja atuh Fan, ama Tante ini, anggap aja ama temen kamu !” dan sepertinya iya tertawa, dan ia yang tadinya dalam posisi terlentang kini memiringkan badannya, menyanggah kepalanya dengan tangannya seolah ingin aku serius menanggapinya.
Dan dengan posisi seperti itu, otomatis payudaranya yang dengan belahannya itu kini menempel ketat dengan lengan bahuku, dan jelas itu membuat pikiranku semakin tak menentu, membuatku semakin salah tingkah, membuatku yang tadinya mungkin harus menjawab pertanyaan Sang Tante kini malah balik bertanya kepadanya.
“Emang kalau tante sendiri gimana ?”, entah darimana datangnya, mungkin karena capek aku ditanya melulu, tiba-tiba saja keluar kata-kata itu dari mulutku,
“Gimana, gimana ? apanya yang gimana ?” jawab tanteku, yang jelas aku juga bingung sebenarnya apa sih yang ingin kukatakan atau kutanyakan, duh apaan ya ?.
“Ee….., gak, maksudnya, kalo Tante sendiri seberapa sering ML ?”, kataku lagi menjawab sekenanya,
“Ya Seringlah, Tante ama suami Tante bisa seminggu dua kali, kadang tiga kali “ sahutnya lagi, dan mungkin karena aku iseng dan entah darimana keisenganku muncul hingga aku menyahutinya lagi
“kalo dengan bukan suami ?” ujarku sambil terkekeh,
“Yee, Fandi, aya-aya wae…” namun ternyata iya malah tergelak, kukira iya marah atau apa, menurutnya mungkin pertanyaanku ini lucu dan aku merasa kalau ia tak perlu menjawabnya.
Tapi…..
“Sstt.. ini rahasia yah, kamu jangan cerita-cerita ama siapa-siapa, menurut kamu badan tante gimana Fan, bagus gak, kalo buat cowok single kira-kira masih laku gak ? “ aku tak mengerti arah pembicaraan beliau, namun ya iyalah, jelaslah, lah wong aku aja melotot ngeliat bodynya, tapi maksudnya itu apa ?, Emang sih beberapa saat yang lalu aku rasanya pernah menguping pembicaraan antar Tante Mala dan Tante Marissa, sekilas sepertinya Tante Mala menanyakan proses perceraian gitu, tapi aku gak tahu apakah yang dimaksud adalah proses perceraian Tante Marissa dengan suaminya atau siapa, gak taulah.
“Emang kenapa Tan ?, emang Tante mo nyari cowok single buat apaan ? buat maen badminton ? trus tante mo maen buat ganda campuran ?” aku tertawa kecil, namun rasanya ia tak memperdulikan komentarku, “Yee, si Fandi, ngabodor wae, menurut kamu gimana ?” aku terdiam sejenak, kemudian aku memalingkan mukaku kearahnya, seakan membuktikan padanya bahwa aku akan serius menyikapinya,
“Ya iyalah Tan, badan tante masih bagus banget kok, masih kenceng, abis Tante kan masih sering olahraga, malah Fandi kira umur tante masih dibawah 30 tahun”, sahutku cepat seakan-akan ingin menyenanginya, sekilas aku melirik kearah dadanya, hanya sekilas, kulihat belahan dadanya seolah membelah dua gunung kembar putih, indah, seandainya aku berani menyentuhnya, mengelusnya kemudian meraba sambil menelusurinya perlahan dan mengatakan
“Bagus banget nih Tan, putih, mulus, dan kencang kok”, kemudian aku mencoba untuk meremasnya pelan, hehe…
“Masa sih Fan ?, kamu jangan nyeneng-nyenengin tante deh, umur Tante kan udah 36, anak Tante aja yang besar udah SMA, masa sih, segitunya menurut kamu “, entah apa yang ada dipikiran tante Marissa, dikiranya aku menjawabnya sekenanya saja, karena aku menjawabnya tanpa memalingkan muka kearahnya, ya iyalah, kalo aku menjawabnya sambil berhadap-hadapan dengannya bisa kacau, udah muka kami sangat dekat sekali, trus pakaiannya yang jelas mengundang selera, kemudian dedeku tiba-tiba bangun dan membuat celanaku menonjol keluar, ini aja udah aku tahan, kan bisa berabe !.
“Iya Taaan, serius, bener, saya gak bohong” sahutku lagi, dan kali ini aku menimpalinya tanpa menengok kearahnya.
“Fan, serius…” tiba-tiba saja, tangannya menarik tubuhku, membuat badanku berbalik, dan ini yang aku takutkan, kini mukaku menghadapnya, dan mau gak mau pandanganku kini mengarah ke mukanya !, “Apanya sih Tan ?, serius, bener, Tante kalo Fandi bilang sih, masihlah, masih kenceng, bahenol “ kataku sambil senyum, padahal pikiranku jadi agak error, apalagi waktu melihat kearah buah dadanya, yang sepertinya hendak meloncat keluar.
Dan mungkin karena melihat sorot mataku yang mengarah ke buah dadanya, ia mengangkat tangannya dan menggerakkannya kearah dadanya, seakan ingin menutupinya. javcici.com Jelas ini membuatku agak malu, membuat kepalaku tertunduk, mungkin kalo dilihat pada cahaya yang terang, ada rona merah diwajahku. Tapi ternyata selanjutnya malah membuatku semakin terkejut, tante Marissa malah menarik bagian atas bajunhya, memelorotkannya ke bawah hingga bagian pakaian yang menutupi dadanya kini telah membuka dengan lebar !.
Sejenak ia memegang putingnya, tampaknya bagian atas payudaranya itu telah menegang den mengeras !, mungkin ia menyadari bahwa ada yang salah dengan putingnya, mungkin karena pengaruh pembicaraan kami atau pengaruh minuman yang diminumnya, atau hawa dingin yang menerpanya hingga membuat putingnya mengeras.
Kini menyembullah, dua bukit kembar, besar dan putih itu, dengan bentuknya yang bulat, proporsional, jelas sungguh indah dipandang, dan malah seperti magnet yang membuat tangan lelaki, tertarik ingin memegangnya dan bahkan mungkin ingin meremas-remasnya, dan kalo bisa menyedotnya sampai kempes… hehehe.. emang balon isi aer !.. xixixixi..
Entah apa yang ada dipikiranku, dengan jarak sedekat ini, kalaupun aku ingin menyentuhnya, tanganku malah tak perlu menjulurkannya, ini aku malah harus menekukkan sikutku. Bingung apa yang harus aku lakukan, kalo aku memegangnya, jangan2 aku malah ditamparnya, padahal duh.. pengen sekali aku menjamahnya…. hiks.!
“Fan, gimana menurut kamu, dada tante masih bagus kan ?” katanya kemudian, dalam kebingunganku harus berkata apa, dan membuatku seperti merinding,
“Masih kencang kan Fan ?” aku tak memberi jawaban apa-apa, seolah mulutku terkunci, tak tahu harus mengatakan apa, mulutku hanya mampu terbuka, melongo, dan kemudian tangannya membuat gerakan, meraba-raba, mengelus-ngelus payudaranya, menelusuri permukaan dadanya dengan tiga jari yang berada ditengahnya, dengan lembut, ya mungkin adegan seperti ini hanya dapat kusaksikan di filem-filem blue yang suka kupinjam dari temanku semasa SMAku dulu, tapi yang kulihat kini adalah liveshow, didepanku, hanya berjarak beberapa centimeter dari mataku saja.
“I..I…Iya Tan, ba…ba…bagus banget, kayaknya masih kenceng“ dengan tersendat aku menjawabnya, dan entah kenapa, suaraku sepertinya sedikit parau, seperti lama tak kena air, ya iyalah, pemandangan didepanku ini membuatku serasa ingin menelan ludah.
Dan di dadaku sepertinya jantungku berdegup dengan kencang dan cepat !.
“Kok kayaknya sih, gimana ? masih bagus gak ? jujur dong ah, biar tante tau gimana pandangan lelaki, saat melihat dada Tante, Fan “ ia menghentikan gerakannya, sepertinya ia menatapku, sesaat, menatap bola mataku, sesaat bola mata kami beradu pandang, tak kuat aku menatapnya lebih lama, kualihkan pandangan mataku kearah yang lain.
Sulit aku menjawabnya, sepertinya ia memperlihatkan payudaranya kepada laki-laki adalah hal yang biasa, dan nampaknya kupikir ia hanya sekedar ingin memperlihatkannya padaku sesaat saja, kemudian dengan segera menarik kembali bajunya, menutupinya dengan segera, namun yang terjadi malah ia semakin memainkan payudaranya tersebut, merabanya, mengelus-elusnya, meremas-remasnya dan kini ia memainkan putingnya, memilin-milinnya, memencetnya, dan membuat puting itu kini semakin tegang dan mengeras, sementara aku hanya sanggup memelototinya, tertegun, hingga kulihat pada raut mukanya yang menatapku, tersungging senyuman, senyuman yang menurutku agak gimana gitu, entah senyuman yang dilakukan untuk merayuku atau ada maksud lain didalamnya.
Tiba-tiba saja dengan ujung dengkul kakinya ia membuat gerakan…., menyongsongkannya ke depan, meraba dengan dengkul dan betisnya, tanpa kusadar, menyentuh celanaku, seakan tahu dimana letak dedeku, yang sejak tadi telah terusik dari bangunnya.
“Ups…Halah..Si Fandi, ternyata kamu gak tahan juga, hihihi.. punya kamu udah bangun tuh ya ?, jangan – jangan dari tadi !” tante Marissa terkekeh, duh untung suaranya tertawanya pelan, seandainya ngakak kencang mungkin akan membuat tante Mala, dan Moza terbangun, dan ini akan membuatku malu, jika saja mereka tahu bahwa aku sedang dikerjain oleh Tante Marissa.
Dengan reflek aku membalikkan badanku, membelakanginya, berusaha menutupi celanaku yang memang ternyata semakin menonjol, Sialan, batinku memaki dalam hati, sambil aku menggaruk-garuk perlahan kepalaku yang tidak gatal.
“Ah Tante, ya iyalah Tan, berarti aku kan masih normal”, kataku menjawabnya sekenanya, ya mau gimana lagi, lah aku kan jengah juga, aku yang tadinya biasa-biasa saja, diperlihatkan sesuatu yang membuat gairah lelakiku bangkit, kemudian ternyata aku hanya dipermainkannya jelas aja langsung membuatku ngedrop, mungkin kalo cahaya ruangan terang benderang akan terlihat mukaku yang memerah menahan malu, walaupun tidak langsung membuat dedeku lemas kembali, namun yang jelas dedeku yang semula sangat tegang, kini dipaksa untuk santai.
Dalam posisi aku membelakanginya, dari gerakannya kubayangkan sepertinya Tante Marissa, membetulkan kembali pakaiannya, mengangkat tangannya, menutupi kembali dadanya, karena kurasakan lengannya menyentuh punggungku, saat menariknya dari atas kemudian menurunkan lengannya, meletakkannya dibawah disamping tubuhnya. Namun, kembali aku dikejutkan olehnya, tiba-tiba saja ia membalikkan badannya yang semula terlentang, membalik kekanan menghadap kearahku, dan tangan kirinya kini melewati badanku melewati pinggangku dan memelukku dengan kencang, serta tangannya kini mencoba untuk meraih celanaku di bagian depan !.
“Eleuh… normal nih yaa, masa sih ?, coba sini, tante pengen tau“ terkaget aku, dan yang jelas sulit bagi aku karena prosesnya begitu sangat cepat, untuk menghindarinya, aku harus memajukan badanku, namun sangat sulit bagiku, pada saat ini posisiku yang miring, membuat bahu dan lenganku tertindih oleh badanku, dan satu-satunya cara untuk menghindari sergapannya adalah aku harus berguling ke depan, namun jelas itu tidaklah mungkin karena didepanku, saat ini terdapat kursi yang menghalangiku untuk melakukan putaran badan.
Kalaupun itu terpaksa kulakukan maka resiko yang kuhadapi adalah badanku akan beradu dengan kursi itu, malah mungkin akan membuatku cedera, belum lagi mungkin akan membuat kursi tersebut terpental, hingga bukan tidak mungkin akan menimbulkan kegaduhan yang akan membuat seisi rumah terbangun !.
Celaka, kini bukan itu lagi yang aku pikirkan, telapak tangan Tante Marissa tepat bersarang di celanaku bagian dalam, merengkuhnya seperti layaknya tangan macan yang mencengkeram mangsanya, ada rasa sedikit sakit, yang kualami, sepertinya dedeku dicengkeram dan ditarik dengan ganas, aku memegang atas lengannya dengan tangan kiriku, berusaha menarik tangannya agar terlepas dari dedeku, dan mungkin karena sedikit bercampur kaget, dan aku menyadari kalau aku teriak mungkin malah akan membangunkan seisi rumah, hingga aku hanya bisa terpekik perlahan, dan dengan suara tertahan disertai rengekan kecil aku hanya bisa bilang
“Aduh, Jangan Tante… Jangan…” aku mencoba untuk mencegahnya.
Namun akibatnya malah fatal, tangan kiriku yang menyentak, menarik tangan tante Marissa, malah membuat dedeku semakin tertarik dan membuatku merasa semakin sakit, bagaimana tidak cengkeraman Tante Marissa tidak hanya mencengkeram batang kemaluanku namun hingga kebuah zakarnya, auccchhh !. perutku serasa sakit, membuatnya serasa terpelintir, aku menjadi lemas, hingga sepertinya tak ada tenaga lagi buatku untuk melakukan perlawanan. Yang ada kini tangan kananku hanya memegang tangan kirinya.
“Hayoh, coba tarik lagi, orang Tante cuman pengen tau doang kok !” katanya lagi, sepertinya beliau tahu bahwa aku akan merasakan sakit bila aku coba-coba meronta lagi,
“hehehe.. lumayan juga punya kamu Fan, lumayanlah buat ukuran orang indonesia”, katanya lagi, duh, ni Tante, orang lagi kesakitan begini, sempet-sempetnya lagi ngukur punya aku, lagian punyaku kan udah setengah lemes, ya ciutlah, lagian juga kalo lagi tegang, gak panjang-panjang amat, palingan juga sekitar 12-13 cm, gak kaya punya suaminya, yang mungkin gedenya segede apaan tau, ya namanya juga orang bule.
“Aduh.. sakit Tan… ampe lemes nih, tante sih.. maen cengkram aja” kataku setengah menggerutu, sambil menarik napas dalam-dalam dan menghelanya dengan hentakan, layaknya orang habis berolah raga dan ingin memulihkan staminanya kembali.
Aku melepaskan tanganku yang memegang telapak tangannya, terserah deh mo diapain juga, asal jangan diremas kayak tadi lagi deh, kayaknya badanku lemas sekali, seperti kehilangan tenaga sama sekali.
“Sakit ya… duh keciiian, sakit banget gak ?”, masa bodoh ah, dia mo ngapain kek, yang jelas, dengan badanku yang lemas seperti ini, mataku malah terpejam, dan aku tak memberikan jawaban maupun reaksi atas pertanyaannya.
Dan mungkin dia merasakan, bahwa aku sepertinya tak memberikan reaksi apapun, reaksi balasan ataupun perlawanan terhadapnya. Dan tanpa aku duga, tangannya yang mencengkeram dedeku, dilepaskannya dan kemudian ia membelainya dengan telapak tangannya, pada bagian jari bawah jari tangannya, mengelus dedeku perlahan.
Entah apa yang ada dipikiranku, mataku yang terpejam, sedikit terbuka, kulihat ke arah celanaku, tangan yang putih, halus itu sepertinya bergerak-gerak perlahan mengelus batang kemaluanku, dari luar celanaku. Dan sepertinya dekapan Tante Marissa kurasakan semakin erat, benda bulat dan kenyal, sepertinya semakin menempel ketat pada punggungku, kurasakan sepertinya putingnya semakin keras, mengganjal seperti ada kerikil yang mengganjal. Dan aku sepertinya tidak dapat melakukan apapun, seolah pasrah dengan apa yang terjadi.
Hingga, beberapa saat kemudian tangan beliau ditarik keatas celana pendekku hingga keatas pinggang, menarik keatas sedikit bagian bawah kaosku, mengusap perutku perlahan, membuatku tergelitik, namun sepertinya ini membuatku semakin nyaman, kemudian ia mengangkat karet pinggang celana pendek untuk memberi celah, kemudian ia menyelusupkan tangannya kedalam celana dalamku, perlahan. Pelukannya semakin erat, membuat badanku yang tadinya dingin serasa semakin hangat, dan aku hanya bisa terdiam, menunggu apa yang akan diperbuat Tante Marissa terhadapku,menunggu keisengan apa lagi yang akan dilakukannya.
Perlahan bulu-bulu halus yang berada di atas kemaluanku dirabanya, menyentuh kepala penisku, kemudian, seolah mengukurnya, jari-jarinya membuat kuncup yang mengelilingi bagian kepala yang menyerupai helm itu, diam sesaat, dan selanjutnya meraba bagian batang penisku dengan telapak tangannya, menyentuh batas bawah kemaluanku, seakan beliau ingin mengukur panjang penisku, dan kemudian beliau mengelusnya, meraba permukaan bagian bawah batang penisku, yang sepertinya juga pasrah dengan posisi telentang dengan kepala menengadah ke atas, seakan meminta persetujuanku bahwa saat ini dia sedang dipermainkan oleh tangan perempuan.
“Masih sakit gak Fan ?” terdengar suara Tante Marissa, ditelingaku, setengah berbisik, mungkin dengan mataku yang terpejam, dikiranya aku masih merasakan sakit, atau mungkin ia menyangka bahwa aku setengah tertidur, dan ia tidak bermaksud membangunkanku.
Entah aku harus menjawabnya apa, namun rasa nikmat yang kurasakan sepertinya tak ingin segera kuakhiri, ingin rasanya aku melanjutkan ke tingkat level yang lebih tinggi, namun aku tak ingin kejadiannya seperti barusan, ternyata beliau memang hanya ingin mengerjaiku saja, lah jelas aja aku gak mau dikerjain 2 kali, dengan wanita yang jelas lebih berpengalaman denganku dalam hal beginian.
Aku tak menjawabnya, hanya bergumam sedikit, heehhhhhh, seolah aku masih merasa sakit.
Dan tanpa kuduga, ia memegang sebelah kiri paha bagian dalamku, menariknya perlahan seakan ingin membuat pahaku bergeser, mencoba untuk membuka celah diantara kedua pahaku semakin melebar, ya tentu saja dalam posisiku yang miring ke kanan membelakanginya, apabila aku akan melebarkan celah diantara kedua paha kiriku otomatis aku harus mengangkatnya keatas, dan jelas mau tak mau akan membuat badanku yang semula miring, menjadi terlentang, karena aku harus memutar badanku.
Sepertinya Tante Marissa sudah mengetahui hal ini, bdannya sepertinya bergeser mundur sedikit namun, tetap posisinya miring menghadapku. Kini aku kembali terlentang dengan posisi Tante Marissa berada disebelah kiriku, bahuku sepertinya menyentuh kulit dari benda bulat, halus dan kenyal, dan tanpa dikomando mataku melirik kearah samping, ya ampun, kupikir ia telah menutup kembali dadanya, ternyata dada putih, bulat, besar dan ranum itu masih terbuka dengan seperti menantang untuk dijamah.
Dan sepertinya Tante Marissa tahu kalo aku melirik kearah dadanya, dan kemudian tangannya yang mememegang dedeku ditariknya, dilepaskannya, kemudian ia mendekatkan bibirnya ketelingaku dan berkata setengah berbisik,
“Kamu suka sama dada Tante Fan ?, kalo kamu suka dan mau pegang, pegang aja, ga papa kok, boleh ” dan kemudian ia menarik badannya, membuatnya menjadi terlentang.
Terkaget aku dan sepertinya otakku sudah gelap, tak ada pikiran apapun, seakan menjadi kosong, melupakan apa yang tadi terjadi, ditambah lagi dedeku semakin tegang akibat dari perlakuannya tadi. Aku menengok kearahnya, seakan meyakinkan bahwa yang aku dengar barusan adalah benar, benar keluar dari mulut tante marissa, dari mulut yang dilingkupi bibir seksi ini, namun aku sepertinya tak ingin menunggu jawaban darinya, segera aku mencoba meraih payudara montok itu.
Aku mengangkat tangan kiriku, namun bila menggunakan tangan kiriku, aku hanya bisa menyentuhnya dengan punggung tanganku ini, tak mungkin aku memegang atau meraba dengan telapak tanganku, ini akan membuat tanganku terpelintir, jadi aku hanya bisa merasakan buah dada yang putih, kenyal dan montok itu hanya dengan menyentuhnya saja dengan punggung tangan kiriku.
Hmm.. mencoba aku menyentuhnya, merasakan kulit halus dari dada putih tersebut, mengusap-usapnya dengan perlahan, menyentuh putingnya dengan punggung jari-jariku, lalu aku mencoba menjepit putingnya, menariknya perlahan, dan Tante Marissa sepertinya menikmati sentuhan punggung tanganku, kulihat matanya seperti terpejam. Dan rupanya rasa ingin lebih kembali menerpaku, aku segera berbalik badan, dengan menggeser sedikit badanku, agar ada jarak buatku untuk berbalik badan, memiringkannya kearahnya, bermaksud untuk mengganti tugas tangan kiriku dengan tangan kananku !.
Kini di hadapanku, tepat di depan mataku, teronggok bukit indah, munjung, dengan kulit halus dan lembut, dalam cahaya remang seolah tidak memudarkan warna putih yang melingkupinya, pada puncak bukit tersebut, terdapat lingkaran kecil, berwarna coklat kehitaman, dengan putingnya yang kelihatan sudah tegak, mengeras.
Tak tahan aku untuk berlama-lama hanya dengan memandanginya, kurengkuh bukit itu dengan tangan kananku, perlahan, menyentuh permukaannya, mengelusnya, merasakan permukaan halus nan lembut itu, mengitari lingkaran berwarna dengan ujung jariku, dengan sesekali menyentuh putingnya, dan menekannya, membuat remasan-remasan kecil, membuat tante Marissa melenguh pelan, menikmati sensasi yang keberikan.
Napas tante Marissa kelihatannya sudah tak teratur, tarikan napas panjang, dengan hembusan napas yang rada menghentak, seakan menandakan bahwa beliau benar-benar menikmati perlakuan yang aku terima. Seingatku baru kali ini aku melakukan hal ini pada wanita yang benar-benar dalam keadaan sadar, yang benar-benar menikmati apa yang kulakukan terhadapnya.
Teringat aku akan apa yang aku pernah lakukan terhadap Tante Mala, Moza, Mita, Maya, dan tante Sandra, mereka semuanya biasanya “kukerjai” saat mereka hilang akan kesadaran, entah tertidur pulas, atau dalam keadaan mabuk, mungkin inilah yang disebut dengan istilah “Bidirectional” Hehe…
Beberapa saat aku melakukan hal tersebut, dari mulai, menyentuh, meraba, menekan, meremas dengan halus, memilin-milin ujung putingnya, hingga, meremasnya dengan gemas. Kutatap wajah tante Marissa, kulihat matanya, dan bola mata kami seakan beradu pandang, kulihat mata yang bening dan indah itu, seperti nanar, tanpa ekspresi, seolah pasrah, seolah berkata, bahwa ia sangat suka aku perlakukan seperti itu, dan terserah kamu mau apa, silahkan kamu nikmati apa yang aku berikan.
Dan sepertinya aku mengerti apa yang ia inginkan, aku menggeser badanku kebawah menurunkan kepalaku agar sejajar dengan dadanya, dengan bertumpu pada lengan kiriku, aku menyorongkan wajahku agar lebih dekat dengan payudaranya, tercium bau harum khas wanita yang membuat gairah lelakiku semakin menggelora.
Tante Marissa seakan mengerti apa yang hendak kulakukan, tangannya bergerak kearah payudara sebelah kanannya, merengkuhnya, dan membuat remasan, hingga bukit indah yang membusung itu terlihat semakin membusung, dengan putingnya yang semakin menantang, menyodorkannya kepadaku untuk segera aku nikmati.
Kontan aku menjulurkan lidahku, bagaikan ingin segera mencicipi makanan lezat dihadapanku, kusentuh puting keras dan menjulang itu dengan ujung lidahku, mengecapnya seolah ingin merasakan apa yang terkandung padanya.
Kumainkan ujung lidahku, membuat putaran-putaran kecil pada ujung payudara itu, bagian permukaan lidah yang kasar seakan memberikan sensasi yang dahsyat pada Tante Marissa, napasnya semakin tak teratur, kulihat pada sorot matanya, seakan menyuruh aku agar jangan menghentikan aksiku, hal tersebut membuat gairahnya semakin tak menentu, melenguh panjang dan perlahan, buah dadanya semakin disorongkan kearahku, meremas dengan tangannya sendiri dengan remasan yang kasar dan itu membuat buah dada yang besar, bulat, semakin membusung, dan mengeras.
Tangan kananku yang bebas kini juga mulai melakukan aksinya, menyerang buah dada sebelah kirinya, tanpa didahului dengan serangan halus, namun langsung dengan gencar melakukan serangan dahsyat, merengkuh, meremas-remas dengan kasar. “Oughhh “ setengah terkejut mungkin dirasakan oleh Tante Marissa saat mendapat serangan lanjutan, pekikan tertahan disertai dengusan napas menghela, menyertai serangan yang kulancarkan.
Suhu udara yang dingin menjadi tak terasa, bagian dada Tante Marissa seakan menjadi basah oleh keringat dan air liurku, serangan yang kulancarkan semakin gencar. Tanpa aku sadari tangan Tante Marissa, yang semula berada didepanku ditariknya dan meletakkannya dibelakang kepalaku seakan menyuruh aku untuk tidak menghentikan serangan sama sekali, dan semakin membenamkan kepalaku pada dua gunung kembar itu. Aku menerkam puting yang sedikit menjulang masuk kedalam mulutku, memainkan lidahku saat ia berada didalam, mengulumnya, menghisap-hisapnya layaknya permen, seakan aku ingin menelannya. Beberapa saat telah berlalu, hingga…
Tangan tante Marissa tiba-tiba menarik kepalaku, membuatku kepalaku terangkat, terkaget aku, segera aksiku kehentikan, kupandangi wajah Tante Marissa, memandangnya seolah bertanya, apa yang terjadi ?. kukira ada sesuatu yang membuat aksiku dihentikan olehnya, jangan-jangan Tante Mala atau Moza terbangun dan keluar kamar, kemudian melihat aksi kami berdua, duh.. mati aku !. dari posisiku ini jelas aku tak akan tahu, apa yang terjadi, saat aku tertelungkup, menikmati buah dada sang Tante, berarti posisi kamar Tante Mala dan kamarku yang ditempati Moza berada dibelakangku, jadi aku tidak akan tahu bila pintu kamar salah satu dari mereka tiba-tiba terbuka dan memergoki apa yang aku lakukan !,
“Fan.. fan.. sudah fan…” begitu tiba-tiba keluar kata-kata dari mulut Tante Marissa, kontan aku menyudahi seranganku, berbalik badanku seakan mencari tahu apa yang terjadi, dalam rasa terkejutku, posisiku yang semula bertelungkup, tengkurap, kini terlentang, bersiaga menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Memandang pintu di samping kananku, menatapnya, dan ternyata kedua pintu itu masih tertutup rapat
“Duh sialan, lagi seru-serunya malah disuruh berhenti, kena lagi aku dikerjain !” gerutuku dalam hati, kuangkat kepalaku, kuarahkan kewajahnya, kuingin bertanya padanya, apa yang terjadi ?, apakah aku dikerjain lagi ?
Belum keluar kata-kata dari mulutku, tiba-tiba saja beliau bangkit dari posisi rebahnya, mengambil posisi duduk, kemudian beliau mengangkat badannya, menggeser pantatnya kearah bagian bawah tubuhku, berbalik memutar badan, hingga wajahnya menghadap kearahku, duduk seperti bersimpuh, mengangkat wajahnya, tersenyum kepadaku. Kemudian tanpa kuduga, beliau menaruh kedua tangannya dikedua pinggangku, kiri kanan. Belum hilang rasa terkejutku, tiba-tiba saja dengan cepat, beliau menarik celana pendekku berikut celana dalamnya, hingga kebatas dengkul !
Terkejut aku dengan apa yang dilakukannya, tak ada gerakan bertahan yang dapat aku lakukan, aku malah seolah membiarkannya terjadi, dan malah aku menjadi pasrah, ketika tangan beliau menarik kembali celana pendekku, aku malah mengangkat kaki kiriku, agar lubang celana pendekku berhasil melewati ujungnya.
Selanjutnya, aku lihat tante Marissa, menggeser kaki kiriku agar menjauh dari kaki kananku, membuat celah antara kedua kakiku semakin melebar, dan tiba-tiba saja beliau mengangkangiku, kulihat beliau seperti merangkak, menggeser dengkul kakinya, melewati kaki kiriku, dan kini beliau sudah berada ditengah-tengah diantara kedua kakiku.
Dan entah apa yang harus kulakukan, beliau menatapku sejenak, sepertinya tersenyum melihatku, berkata kepadaku,
“Sssttt….kamu diam aja Fan, ini Tante kasih sesuatu yang belum pernah kamu alami !”, aku hanya dapat memandangnya dengan pandangan yang sulit aku jelaskan.
Dan tiba-tiba saja beliau memegang batang penisku dengan tangan kirinya, batang penisku yang memang sudah menegang sejak tadi, dengan tegangan yang selalu naik turun seperti PLN, begitu dicengkeramnya, aliran darah yang melewatinya sepertinya semakin berdenyut kencang dan itu membuatnya semakin menegang.
Tante Marissa mulai mengurutnya perlahan, memaju-mundurkannya keatas kebawah, pelan seakan merabanya, ada sedikit rasa perih ketika kulit halus telapak tangannya menyentuh kulit penisku, terutama saat beliau memainkan dengan cepat, hingga ujung lubang penisku seperti berdecak-decak. Dan kemudian ia menurunkan kepalanya, dan tanpa kuduga, ia mencium kepala penisku, mencium dengan bibirnya yang mungil, sensual dan indah itu. Menjulurkan lidahnya, seperti ketika aku merasai putingnya, dan hap, tiba-tiba saja penisku sepertinya sudah tertelan masuk kedalam mulutnya.
Aku sepertinya menikmati sensasi yang benar-benar luar biasa, sukar untuk kulukiskan betapa nikmat apa yang kurasakan saat ini, kulihat kearah bawahku, tampak batang penisku seperti bersinar akibat air liur Tante Marissa yang membasahi seluruh permukaannya, sepertinya ia bekerja keras menaik turunkan kepalanya, mengulum ujung batang kemaluanku, menyedotnya, kemudian melepaskannya, sesekali beliau tampak memalingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seakan-akan ingin memelintir batang kemaluanku, mungkin juga dimaksudkan agar jangan sampai ada bagian yang terlewati.
Mata beliau melirik, melihat kearahku dengan alis mata yang lentik itu, seolah mengatakan bahwa apakah aku menikmati apa yang dilakukannya, inilah sensasi yang belum pernah engkau alami selama ini wahai fandi. Aku hanya terkesima melihatnya melakukan serangan balik terhadapku, aku hanya mampu menutupi wajahku dengan lenganku, hanya mampu melenguh panjang, manakala lidahnya yang nakal memainkan batang penisku tepat dibawah kepala helm penisku, membuatku menggelinjang menahan rasa nikmat yang amat sangat.
Rasanya aku ingin meraih payudara yang montok itu, yang menggelayut sempurna, layaknya ombak yang menghempas kapal karam kesana-kemari, namun tanganku tak mampu menjangkau payudara indah tersebut, aku hanya mampu menarik napas dalam-dalam, menahannya sesaat, kemudian melepasnya perlahan melalui mulutku disertai lenguhan panjang. Dan kemudian tanpa saat kenikmatan tiada tara tersebut tengah aku nikmati, ia melepaskan kuluman penisku dimulutnya.
Kemudian ia memajukan badannya menyorongkan dadanya sedikit kedepan, membawa buah dada yang rasanya sejak tadi ingin aku rengkuh dan rasakan, dengan kedua tangan yang memegang kedua buah dadanya tersebut, berusaha menjepit penisku !
Mungkin karena licin, dan penisku yang memang lebih miring kearahku, sehingga sepertinya penisku mencelat keluar dari himpitan kedua payudaranya, dan mungkin juga karena aku menyadari apa yang hendak dilakukannya, sehingga aku membantunya dengan mendorong sedikit penisku kearah dalam, hingga payudara putih, kenyal dan besar itu mampu menjepitnya.
Mungkin selama ini, inilah hal yang paling sangat aku ingin rasakan, tak pernah aku bayangkan sebelumnya, bahwa aku mengalami hal seperti ini, adegan yang mungkin selama ini hanya aku saksikan di dalam filem-filem porno, yang kerap aku tonton dirumah teman-temanku yang orang tuanya tergolong kaya dan mapan, ya gw mah dulu mana punya video player ?, (boro-boro video player, celana dalem aja ngepas ada 6 biji, warnanya sama semua, biar disangka gw punya 10 lusin dan maniak ama warna tertentu, loh kok ada 6, kan hari ada 7 ?, ya iyalah masa tuh CD gw mo nomorin pake nama hari ntar disangka punya 7 doang, hehehe.. ), yang tentu saja kami pinjam secara diam-diam dan ditonton dengan diam-diam pula, ya iyalah masa mo berisik dan teriak-teriak, kalo itu mah nonton bola, bukan nonton bokep, lah elo baca cerita ini aja diem-diem gak berisik, iya kan ?
“Ouggghhhh “ lagi-lagi aku hanya mampu mengeluarkan suara lenguhan agak parau, manakala pabrik susu yang besar itu mulai mengurut penisku, naik turun, menjepit penisku dengan kedua payudaranya, terlihat nampak seperti bergonjang-ganjing, naik turun, mendekap erat penisku pada belahan payudara tersebut, seakan tak membiarkannya terlepas dari jepitannya. Sesekali beliau menjulurkan lidahnya, menjilat kepala kemaluanku, dan kemudian mengulumnya, memasukkannya kedalam mulutnya.
Terus dan terus dilakukannya berulang-ulang, beberapa saat berlalu, kasihan juga aku melihat Tante Marissa, peluh sepertinya mengucur deras dari dahinya, membasahi punggungnya, menetes hingga kedadanya, udara malam yang dingin ini seakan tak membuat kami merasakannya, aku yang masih menggunakan kaos, mungkin masih merasakan dingin, namun kulihat Tante Marissa yang dadanya terbuka serasa berada di dalam ruangan yang panas.
Dedeku semakin tegang dan tegang, serasa aliran darahku terpompa kencang, aku hanya pasrah, melihat Tante Marissa memperlakukanku seperti boneka kesayangannya, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku untuk mencegah atau melarang tindakannya. Beberapa saat berlalu, dan sepertinya prosesi mengurut batang penisku seakan tak berujung, hingga tiba-tiba saja beliau menghentikan segala aksinya, dilepaskannya himpitan pada penisku oleh payudaranya dengan melepas tangan yang mencengkeram kedua buah dadanya, dan kemudian beliau yang saat itu berada pada posisi duduk membungkuk, kemudian menegakkan badannya, sepertinya ia akan menyudahi semuanya !.
Tersenyum ia kepadaku,
“Gimana Fan udah gak sakit lagi kan ?, udah enakan kan ?” katanya lagi tatkala ia melepaskan jepitan payudaranya pada dedeku, membiarkan dedeku menegang sendiri, mengacung seolah memprotes kenapa ia menghentikan aksinya.
Aku hanya bisa memperhatikan tubuhnya yang kini telah berada dalam posisi duduk tegak, memandang wajahnya, dan tanpa aku sadari keluar kata-kata dari mulutku,
“Tan lagi dong Tan, … masa cuma gitu doang !” entah apa maksudku, tapi nada dari kata-kata yang aku keluarkan itu terdengar seperti memelas atau lebih tepatnya seperti rengekan anak manja yang sedang meminta sesuatu.
“hihihihi…. Kan tante cuma ngilangin rasa sakit kamu doang, katanya tadi kamu sakit… hehehe, enak kan pijitan Tante ?” sahut Tante Marissa, sambil tertawa cekikikan, dan yang lebih menyebalkan lagi, ia mengatakan itu sambil mengedip-ngedipkan matanya,
“Jah, kena lagi aku dibikin nanggung, kuya !…. “. Rupanya ia tahu bahwa aku kesal karena dipermainkannya, dan sambil tergelak beliau menjatuhkan badannya kebelakang, dengan bertumpu pada kedua tangannya yang menahan beban tubuhnya agar tak terjatuh sekaligus, dan serta merta merebahkannya.
“huh, lemes lagi deh dedeku “ aku menggerutu sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakang telingaku, dan kulihat kearah bawah dari posisi kepalaku yang rebah, tante Marissa sepertinya kegirangan karena berhasil mengerjaiku lagi.
Namun, nampaknya ulahnya tidak sampai disitu saja, mungkin karena ia melihatku seperti kucing yang kelaparan yang sedang menunggu tuannya menyantap makanan, menunggu sang tuan berbelas kasihan melemparkannya sedikit ikan, dan sepertinya ia ingin menggodaku lebih jauh…
Mungkin beberapa saat setelah tawa cekikikannya reda, tanpa menunggu reaksiku yang sepertinya ngambek terhadapnya, tiba-tiba saja beliau bangkit dari rebahannya. Kupikir ia bangun dan hendak pergi meninggalkanku, kembali kekamarnya, namun yang kusaksikan ini malah kembali membuat hatiku berdebar-debar. Dalam posisinya yang berlutut, setengah berdiri, beliau kini malah menanggalkan pakaiannya !
“Mau ngapain lagi nih Tante ?, bodo ah, paling dia iseng mo ngerjain aku lagi” begitu yang ada dalam pikiranku, aku hanya terdiam, hanya melongo, terpana, melihat kearahnya, menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi. Entah apa yang berada dipikiranku, namun saat ini didepanku kulihat Tante Marissa kini bertelanjang dada, dengan hanya menggunakan celana dalamnya saja.
Dan kemudian beliau kembali merebahkan dirinya, memegang payudaranya, mengelus-elusnya dan melihat kearahku, tersenyum, seolah-olah mengatakan padaku,
“hayoo sini fan, maju kalo berani !”
Mungkin karena aku takut dipermainkannya lagi atau mungkin aku bingung, tak tahu apa yang aku harus lakukan, hingga pada situasi ini, aku hanya terpaku saja melihatnya, melihat semua tingkah dan gaya Tante Marissa, layaknya sedang menyaksikan blue film ketika seorang wanita sedang melakukan pemanasan seorang diri. Kulihat beliau seperti tadi. memainkan payudaranya, mengelus-elusnya dan meremas-remas dengan tangannya sendiri,
Dan sepertinya beliau seolah-olah mengejekku, dengan menjulurkan lidahnya, mengangkat payudaranya dengan tangannya, dan menjilat putingnya. Dan tak lama kemudian tangan kanannya mulai memasuki celana dalamnya, memainkan tangannya didalam sana, seolah-olah mencari-cari sesuatu, bergerak-gerak dengan liar, menelusuri bagian vaginanya.
Aku hanya mampu menatapnya, berusaha agar tak tergoda, namun mengharapkan agar ia yang menarik diriku dan memperlakukannya seperti tadi. Sepertinya aku masih ragu untuk melakukan gerakan apapun, mungkin saat ini lebih tepatnya aku berlaku layaknya predator, menunggu saat yang tepat untuk menerkam mangsanya, bila salah-salah sedikit bukan mustahil sang mangsa akan kabur melarikan diri, atau mungkin ada sesuatu yang bisa mengakibatkan diriku terperangkap !.
Dan kulihat saat ini tante Marissa, seakan masih terus menggodaku, menatapku yang seakan tidak tertarik dengan tubuh mangsanya, seakan rasa lapar belum menyerangku, sehingga aku tidak tertarik sedikitpun dengannya, namun tatapan mataku seakan tak bergeming, seolah tak mau beranjak dari tubuhnya, masih terus menatap dan memperhatikannya.
Hingga beberapa lama kemudian, kulihat ia menurunkan tangan kiri yang memegang payudaranya, menaruhnya pada pinggang dimana celana dalamnya melekat, dan selanjutnya tanpa kuduga, beliau menurunkannya, memerosotkan celana dalamnya hingga kebatas dengkul, melewati kedua paha putih dan mulus itu, membantu dengan kakinya agar celana dalam itu terdorong keluar !.
Dan kali ini tubuhnya kulihat polos tanpa sehelai benangpun !!!.
Kulihat ia tersenyum padaku manakala kulihat dengan pandanganku yang seperti terpaku, terkejut dengan apa yang dilakukannya. Hanya tersenyum sekilas sambil memandang diriku dan selanjutnya, ia kembali memainkan tangannya diantara belahan selangkangannya, memainkan jari jemarinya yang lentik, terus dan terus hingga kudengar napasnya semakin tidak teratur, lenguhan kecil sepertinya terdengar jelas dimalam yang dingin dan senyap seperti ini. Dan tanpa kusadari tanganku kini telah berada pada batang dedeku, yang sepertinya mengikuti irama jari gerakan tangan tante Marissa !.
Beberapa saat berlalu, aku seakan ikut menikmati live show didepanku, malah seolah-olah aku turut serta dalam aktifitas tersebut, hingga tiba-tiba saja Tante Marissa menghentikan aktifitasnya, bangkit dari posisinya semula, bangun, dan kemudian berjalan merangkak mendekatiku.
Ia menghampiriku, melangkahkan kakinya kesamping kananku, kedua kakiku yang masih mengangkang, terbuka lebar, dengan posisi dedeku yang masih berdiri tegak, mengacung !.
Kupikir ia akan memainkan dedeku seperti tadi, memainkan dengan tangannya, dengan mulutnya dan dengan payudaranya, menyelesaikan apa yang telah ia mulai tadi. Namun ternyata ia malah merebahkan dirinya disampingku.
Aku hanya meliriknya sekilas, seakan aku masih ngambek dengannya, cuek setelah apa yang dilakukannya padaku tadi. Dan mungkin sepertinya ia tahu apa yang terjadi pada diriku, ia yang semula merebahkan diri disampingku, kini membalikkan badannya dan kini badannya yang telanjang bulat menghadap diriku.
“Fan… mau lagi gak?” terdengar kata-kata tante Marissa ditelingaku, walaupun sepertinya beliau mengatakan dengan pelan namun aku jelas sekali mendengarnya, karena saat beliau mengatakan hal tersebut terdengar hembusan napas yang mengiringi kata-kata tersebut, mungkin kupingku dan mulutnya hanya berjarak beberapa centimeter saja. aku tak menjawabnya, mataku tak kupalingkan sedikitpun dari televisi didepanku.
“Faaaaan….” Tiba-tiba saja terdengar pekikan Tante Marissa, walaupun mungkin tak seberapa keras, namun karuan saja itu mengagetkanku, dan tiba-tiba saja beliau menarik badanku, hingga aku yang tadinya terlentang, kini badanku berbalik, menghadap kepada dirinya !
Kini wajah kami saling berhadap-hadapan, dan kini hanya beberapa sentimeter saja didepanku, kulihat wajah tante marissa, bertatapan langsung dengan wajahku. Sekilas tatapan mata kami saling beradu pandang, Kulihat sorot mata tante Marissa, lain dari biasanya, dengan sorot mata yang sayu, seolah menyiratkan suatu keinginan yang telah lama terpendam.
Beliau memandangku, menatapku mataku lekat-lekat, dan kemudian beliau berkata kepadaku
“Fan, kamu mau gak tante kasih yang lebih dari tadi ?, tapi janji ya kamu jangan cerita ke siapa-siapa ?, pokoknya tante ajarin kamu sesuatu, kamu mau ?” aku tak menjawabnya, bingung harus menjawab apa, gugup aku dengannya, wanita cantik, putih dengan wajah yang mulus, kini berada dihadapanku, hanya beberapa centimeter saja dariku, tercium harum napas keluar dari mulutnya.
“Em…mang… appa ….” Belum selesai perkataanku, dan tanpa kusadari, tanpa menunggu jawabanku, tiba-tiba saja tangan tante Marissa telah meraih batang kemaluanku.
Memang dalam jarak sedemikian dekat, tangan Tante Marissa tak perlu mengulur panjang, dengan posisinya tadi yang berada dibawah pinggangnya, mungkin hanya dengan satu gerakan saja, beliau sudah menangkap dedeku, kemudian dengan serta merta mengelus-elusnya, mengocoknya perlahan, membuat dedeku yang telah tegang kini semakin menegang.
Blingsatan aku jadinya, aku yang semula tenang kini mulai gerah kembali, tanganku kini mulai berani bermain, kupeluk dirinya, kumainkan dadanya dengan tanganku, sementara tangannya tak lepas dengan terus memainkan batang penisku. Dan rasanya hasrat birahiku kini telah benar-benar menggelora, hingga, seperti ada yang menyuruh aku untuk mencium dan melumat bibirnya yang hanya berjarak beberapa centimeter itu, saat aku memajukan wajahku dan hendak menarik kepalanya dengan tanganku, dan saat itu pula, tiba-tiba ia melepaskan tangannya dari dedeku dan menaruhnya dibibirnya untuk mencegahku melakukan hal itu…
“Sssttt… jangan fan, gak boleh, gak boleh cium bibir Tante, kalo kamu mau cium, cium yang lain aja !” dan dengan setengah berbisik ia mengatakan itu untuk melarang aku melakukannya, dan sepertinya agar aku tak kecewa, atau agar suasana yang baru saja dimulai ini selesai begitu saja, tiba-tiba saja ia memelukku dan merapatkan dadanya yang indah, besar dan kenyal itu ke dadaku, dan kemudian ia mengangkat kepalanya, melewati pundakku, dan menciumi leher belakang kepalaku serta menjilati belakang kupingku.
Geli dan nikmat aku rasakan, dan manakala itu terjadi dadanya otomatis berada didepan mulutku, yang langsung aku sambar untuk aku cium dan jilati pula, dengan ditingkahi oleh hisapan-hisapan ringan pada putingnya.
Lama kami melakukan itu, saling cium dan jilat, membuat dedeku semakin tegang dan sepertinya menyodok-nyodok bagian bawah tante Marissa, seakan-akan mencari celah diantara kedua belahan pahanya, dan itu mungkin dirasakan oleh Tante Marissa, karena tiba-tiba saja iya menurunkan tangannya dan meraih penisku. Dipegangnya erat batang penisku, dikocoknya perlahan seakan hanya mengelus-elusnya saja, menambah napsuku yang sudah dipuncak menjadi semakin memuncak.
Tante Marissa tanpa kuduga tiba-tiba saja menghentikan pelukan dan ciumannya pada diriku dan tanpa kuduga, beliau merapatkan badannya pada diriku, menurunkan tangan yang satunya kebawah, dan kini kedua tangannya sepertinya berebut untuk memegang penisku !.
Dan tak lama kemudian, tante Marissa seakan mengarahkan penisku ke dataran tinggi dibawah perutnya, dataran yang sedikit memunjung, membentuk cangkupan menyerupai gundukan, dengan ditumbuhi hutan yang tidak seberapa lebat, seakan menuntun sang penis agar mendarat pada tempat yang tepat. kemudian beliau dengan menggunakan tangannya menarik dedeku, menggosok-gosokkan ujung kemaluanku pada bibir kemaluannya, dan kurasakan sepertinya pada bagian dalam bibir kemaluannya kini telah basah !.
Sulit sekali sepertinya pada posisi kami berbaring seperti ini, saling memiringkan tubuh dan berhadap-hadapan, sepertinya bibir kemaluannya tertutup rapat, sulit bagi kepala kemaluanku untuk menerobos masuk, hingga…..
Seolah mengerti akan keinginanku, Tante Marissa mengangkat kaki kanannya, seakan memberi peluang bagi dedeku untuk mendapat celah lubang dan menerobos masuk, dan sepertinya kesempatan itu tidak disia-siakan oleh dedeku, seakan atas inisiatip sendiri, pantatku membantunya, mendorong kedepan, sehingga amblaslah dedeku masuk kedalam lubang vaginanya dengan cepat.
Dan Tante Marissa seakan terkaget oleh aksi dari Dedeku, terhenyak sebentar, seakan menahan pekikan agar tak keluar dari mulutnya, namun sesaat kemudian sepertinya ia menerima penetrasi dari dedeku, bergumam lirih, seperti mengucapkan “hmmmm”, dan kemudian ia malah menggoyang-goyangkan pantatnya seakan menyuruhnya untuk maju mundur !. Dan sepertinya aku juga tidak tinggal diam, kuikuti irama dari pantatnya, namun aku membuatnya berlawanan arah, hingga apabila dia maju, aku ikut maju, dia mundur aku ikut mundur, dan itu jelas mengakibatkan gesekan yang luar biasa, karena membuat dedeku menjadi seperti keluar masuk vaginanya !.
Beberapa saat kami melakukan itu, detik–demi detik , menit demi menit, rasanya tak ingin aku menghentikan itu, ada yang berdegup kencang di dalam dadaku, ada rasa takut, takut jika ada yang menyaksikan kegiatan kami berdua, takut bila sekonyong-konyong muncul orang memergoki kami berdua, tante Mala atau Moza, yang mungkin terbangun. Aku seakan menikmati apa yang diberikan oleh tante Marissa dengan hati yang was-was, menikmati segala perlakuannya padaku sambil berwaspada mengamati situasi yang mungkin aku takutkan terjadi.
Tapi nampaknya tante Marissa seakan tak perduli dengan rasa khawatirku, beliau sepertinya menikmati sekali dengan apa yang kami lakukan, goyangan bagian bawah pinggulnya semakin menjadi-jadi, aku yang terpaksa harus meluruskan batang dedeku agar dapat mengimbangi posisi lubang kemaluannya, sepertinya rada tertarik dan membuatku merasa nyeri, wajahku sedikit meringis, dan sepertinya itu terlihat oleh Tante Marissa.
Tiba-tiba saja, ia mengangkat badannya, dan tanpa mencabut dedeku yang masih berada didalam vaginanya, dibantu oleh tangannya, mendorong tubuhku dengan tubuhnya, berguling, kini posisi kami berubah, tante Marissa kini berada diatasku.
Tante Marissa memelukku dengan erat, menindihku, seakan ingin menghentikanku bernapas, payudara putih dan montok itu kini berada ditengah-tengah dada kami, kenyal terhimpit, kurasakan putingnya yang telah tegang dan mengeras itu seperti menempel pada putingku.
“Gimana fan ? enak kan ?, sekarang kamu akan Tante kasih pelajaran kedua !” terlontar kata-kata itu dari mulutnya,
“eh yang keberapa ya ? gak tau deh, kamu yang hitung, hihihi.. !” cekikikan tante Marissa, namun tak lama, karena setelah itu beliau malah menciumi bagian pipiku, dan setelah itu berlanjut ketelingaku.
Dijilatnya pelan telingaku, memainkan lidahnya ditengkukku, kemudian beliau menciumi leherku dan tanpa kusadari, kini ia malah memainkan pantatnya, menaik-turunkan pantatnya dengan mulai perlahan serasa diayun kemudian dilakukannya cepat dan makin cepat.
Tak ada kata-kata yang kuucapkan untuk menjawabnya, seolah mulutku tertutup rapat, tak tahu apa yang harus kulontarkan, yang ada hanya ada rasa nikmat yang amat sangat, tatkala ia kembali menaikturunkan pantatnya, layaknya ulat yang sedang berjalan merambat batang ranting, dengan meliukkan tubuhnya menjalari tubuhku.
Dan sepertinya ia ingin memberikan aku sensasi dan pengalaman yang mungkin aku belum pernah alami, tiba-tiba saja ia menarik baju kaos yang masih menempel pada tubuhku, ditariknya ke atas hingga ke leher, dengan isyarat tangan ia memintaku untuk melepasnya. Aku menuruti kemauannya, kubiarkan ia melepas kaos tersebut, kuangkat tanganku untuk mempermudah ia melepaskannya.
Dan sesaat kemudian, aku juga telah polos tanpa ada kain yang menutupi tubuhku !.
Dan selanjutnya serangan berupa kecupan-kecupan dan jilatan-jilatan melanda tubuhku, mulai dari pipi, leher, hingga kedadaku, sepertinya ia hendak menciumi terus seluruh tubuhku hingga kebawah, namun nampaknya ia tak rela untuk mencabut vaginanya yang menancap pada penisku, hingga ciumannya hanya sebatas putingku saja. aku yang sedari tadi hanya pasif saja, menerima saja apa yang dilakukannya kini mulai bergerak aktif, tanganku yang semula tergeletak disamping badanku, kini mulai terangkat, menyentuh bagian bokongnya, seakan ingin membantunya naik turun, dan tanpa kusadari kini tanganku mulai meremas-remas bokongnya !.
Entah berapa lama kami melakukan itu, namun yang jelas, aku sangat menikmati apa yang dilakukannya terhadapku, payudara yang kenyal yang terhimpit diantara badanku dan badannya, tiba-tiba saja menimbulkan rasa yang membuat aku untuk melakukan sesuatu terhadanya, aku melepaskan tanganku yang berada pada bokongnya, kemudian menyelipkan diantar tubuh kami, kucengkeram benda putih, besar dan kenyal itu, kulakukan remasan-remasan padanya, dan nampaknya tante Marissa, menikmati apa yang kulakukan padanya.
“Fan kalo sperm kamu mau keluar, keluarin aja ya ? jangan takut-takut, tante udah disteril kok “ kudengar bisikan tante Marissa pada kupingku, aku tak menjawabnya mungkin karena saking nikmatnya dengan penetrasi yang dilakukan oleh tante Marissa pada diriku, aku hanya dapat menjawabnya
“He eh tan” disertai anggukan cepat, namun suaraku sepertinya hilang tertelan oleh deru napasku yang memburu.
Dan selanjutnya, ketika hasrat birahiku meluap-luap, ketika moment yang sepertinya sangat berharga ini tak ingin aku lepaskan, tiba-tiba saja Tante Marissa bangkit dari posisi rebahnya dibadanku, mengangkat kakinya dan menggesernya kedepan, sehingga kini posisinya seperti duduk setengah berjongkok dengan penisku yang menancap layaknya paku.
Dengan bertumpu pada kakinya, tante Marissa sepertinya semakin liar, beliau kini malah seperti bebas menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya, menggoyang pantatnya kekiri kekanan, layaknya mengulek-ulek penisku agar hancur didalamnya. Kemudian berganti memaju-mundurkan pantatnya seolah akan menggerus apa yang berada dibawahnya.
Aku hanya mampu melenguh, menarik dan menghembuskan napasku dengan cepat sulit sekali mengikuti irama yang dilakukan oleh Tante marissa, kadang bila goyangannya kuikuti dan sejalan dengannya, tiba-tiba saja berubah, beliau mengubah pola goyangannya.
Yang jelas apa yang kurasakan saat ini memang aku baru mengalaminya, napasku seperti terengah-engah dibuatnya, Aku tidak dapat mengikuti irama permainannya, namun sensasi yang kurasakan begitu nikmatnya, goyangan-goyangan yang dilakukannya, begitu terasa pada seluruh kemaluanku, mulai dari kepala, batang hingga pongkol penisku begitu terasa, kadang aku ikut menggoyang pantatku, naik turun, seakan-akan membiarkan seluruh penisku amblas ke dalam vaginanya.
Saat tubuhnya bergoyang-goyang, aku menikmati pandanganku pada tubuh diatasku, payudara putih dan besar didepanku, bergonjang-ganjing bagaikan ada gempa yang menerpanya, terayun-ayun bagaikan hendak jatuh menimpaku, dan kemudian Tante Marissa menaruh tangannya pada kedua buah dada nan montok itu, meremas- remasnya, seakan memberi isyarat kepadaku agar melakukannya.
Dan kuikuti kemauannya…..
Entah berapa lama kami melakukannya, waktu tak terasa, goyangan-goyangan liar yang dilakukannya, seakan melupakan kami akan waktu serta udara malam yang dingin menjadi tak terasa. Kurasakan batang penisku kini juga semakin tegang dan liar, seakan apa yang diberikan oleh Tante Marissa masih kurang, kadang kuangkat pantatku tinggi-tinggi, agar penetrasi penisku semakin dalam menerobos vaginanya.
Dan kulihat tante Marissa juga menikmati pelajaran yang diberikannya, entah sepertinya beliau begitu menghayatinya, kulihat mata beliau sepertinya terhanyut dengan apa yang kami lakukan, deru napas memburu diiringi desahan-desahan terdengar jelas walau halus.
Beberapa saat berlalu, ketika kurasakan jepitan pahanya pada tubuhku sepertinya semakin menghimpitku, goyangan yang dilakukan oleh tante Marissa terhenti sejenak, hingga kulihat seperti ada lenguhan dan hempasan napas diiringi tubuh yang bergetar, entahlah apa yang dirasakan oleh tante Marissa, namun kurasakan pada batang penisku semakin basah seakan ada benda cair menyiramnya. Mungkin ini yang dinamakan orgasme, karena kuperhatikan pada wajah Tante Marissa, dibalik peluh yang membasahinya, tampak seperti memperlihatkan tanda kepuasan.
Dan tiba-tiba saja penisku terlepas dari genggaman vaginanya, kulihat tante Marissa bangkit dari duduknya, berdiri bagaikan hendak mengakhiri permainan ini. Tentu saja jelas hal ini membuatku kaget, bagaimana tidak, aku yang sejak tadi dibuat nanggung olehnya, masa harus mengalami lagi seperti tadi, “Sialan” mengumpat aku dalam hati, jika saja tante Marissa benar-benar melakukannya lagi, mengerjaiku hanya sampai setengah jalan !.
Namun, nampaknya tante Marissa tak berhenti hanya sampai disini, beliau yang kini berdiri mengangkangiku, tiba-tiba saja menarik tanganku, menyusuhku untuk berdiri, bangkit dari posisi rebahku. aku sepertinya pasrah dengannya, menuruti ajakannya, ikut bangkit, mengikutinya !
Tante Marissa berbisik ditelingaku,
“Fan, sekarang pelajaran berikutnya” dan kemudian ia seolah membimbingku, berbalik berjalan seraya menaruh tanganku diperutnya, dan seakan menyuruhku untuk memeluknya dari belakang, mengikutinya.
Entah apa maunya, dedeku yang masih tegak mengacung, kini menempel pada pantatnya yang munjung, songgeng, seakan hendak menyelinap diantara belahan pantatnya itu. Tanganku yang berada dipinggang, dengan telapak tangan menyentuh begian perutnya, membuat tekanan pada tubuh tante Marissa semakin erat menempel pada tubuhku. Hmm, kupikir tante Marissa akan mengajakku untuk pindah ke kamarnya, melanjutkan prosesi hubungan intim kami ditempat yang lebih aman.
Namun perkiraanku ternyata meleset….
Ketika aku sedang menikmati saat-saat pergerakan kami tersebut, sensasi yang kurasa membuat gairah laki-lakiku kembali naik, tiba-tiba saja beliau memundurkan badannya, sehingga akupun memundurkan badanku dengan melangkahkan kakiku beberapa langkah kebelakang, dan beliau seketika berbalik, membalikkan badannya kearahku, dan sekonyong-konyong beliau mendorongku kebelakang, seakan hendak menolak aku, terhenyak aku, tak menyangka akan gerakannya, tanganku seakan reflek menahan tubuhku yang terjengkang, membuatku jatuh terduduk diatas sofa !.
Aku menatapnya dengan pikiran yang banyak menduga-duga, apa gerangan yang akan dilakukannya lagi terhadapku, kulihat beliau tersenyum, entah apa yang ada dipikirannya. Dan tanpa kuduga sama sekali, tiba-tiba tante Marissa menyusulku, menghampiriku, membalikkan badannya tepat didepanku. Kemudian seakan-akan mengambil ancang-ancang dimana letak penisku, dengan setengah membungkuk, beliau menempatkan kakinya berada ditengah-tengah kakiku, membuatku melebarkan kaki dan dengan perlahan-lahan beliau menurunkan pantatnya diantara belahan pahaku.
Mungkin karena aku dalam posisi tak siap, saat pantatnya mengarah kediriku, saat lubang vaginanya tertarik mencari penisku agar berada pada posisi yang pas, membuatnya tergelincir dan dan terpelintir, ada rasa sakit melandaku, dan otomatis aku mendorong tubuhnya, namun tante Marissa sepertinya sudah tahu dan mengerti, sehingga beliau melakukannya namun kali ini dengan pelan dan perlahan, menurunkan pantatnya mengarah kepada penisku.
Secara reflek aku membantunya dengan mengarahkan penisku. memasukkan penisku kedalam vaginanya dengan memgang pantatnya yang bulat, perlahan-lahan mulai dari kepalanya, batangnya, hingga semuanya seperti tertelan masuk kedalamnya.
Entah apa yang kurasakan, yang jelas saat ini aku merasakan hal yang benar-benar baru kualami, sukar kulukiskan dengan kata-kata, betapa penisku saat ini seperti tergenggam erat dengan benda hangat, dengan permukaan yang licin dan basah namun seakan-akan meremas-remas seluruh permukaan penisku dengan begitu lembut.
Aku hanya mampu melenguh pelan, seandainya dirumah ini tak ada lagi orang selain kami berdua, mungkin aku sudah bersuara keras, namun kusadari bahwa yang kami lakukan merupakan suatu hal yang hanya kami saja yang boleh tahu. Dari tempatku duduk memang saat ini aku dapat mengawasi kearah kamar dimana mereka berdua tidur, ya kamar tante Mala dan kamar Moza memang tepat berada di arah depanku, membuat merasa lebih aman, karena bila sewaktu-waktu pintu kamar tidur didepan itu terbuka, maka aku sapat dengan cepat mengantisipasinya.
Kupegang kiri kanan pantat yang indah dan bulat didepanku dengan kedua tanganku, seakan menyuruhnya untuk naik turun, menjaganya agar tetap berada dalam jangkauan penisku, seakan aku tak ingin ia lepas lagi. Dalam posisiku yang terduduk, sebetulnya tak ada yang dapat aku lakukan lebih dari sekedar memegang pantatnya saja, kendali sepenuhnya berada ditangan Tante Marissa. Beliau lebih banyak bergerak seakan tak mengenal lelah, menaik-turunkan pantatnya, dengan berpegang pada tangannya yang memegang kedua pahaku. Memang ada sedikit rasa sakit pada pahaku saat kedua tangannya menekan pahaku guna membuat pantatnya terangkat naik.
Dan lebih lebih lagi pada saat beliau menurunkan pantatnya perlahan-lahan, pahaku seakan ditekan dengan keras, namun itu tak kurasakan sama sekali, karena rasa nikmat yang amat sangat menyelimutiku, membuat seluruh tubuhku terasa bergetar sampai keubun-ubunku.
Beberapa saat berlalu, entah berapa lama kurasakan kenikmatan ini, sebetulnya aku sendiri merasa heran, mengapa dedeku yang biasanya hanya mampu bertahan beberapa menit saja, kini kurasakan cukup lama bertahan, apakah mungkin karena rasa takut ketahuan membuat pikiranku bercabang, sehingga ejakulasiku menjadi lebih lama dari biasanya, ataukah karena aku baru saja mengeluarkannya beberapa saat yang lalu ketika aku mencumbui moza sehingga dedeku perlu waktu untuk mengisi ulangnya. Entahlah, namun yang jelas pikiranku saat ini hanya terfokus bagaimana aku menikmati apa yang diberikan oleh Tante Marissa.
Tante Marissa sepertinya juga sangat menikmati dengan apa yang dilakukannya, kulihat beliau saat mendudukan pantatnya diatas kedua pahaku seperti ada yang membuatnya tergetar, kepalanya kadang digerakkannya kekanan dan kekiri, sementara pantatnya melakukan gerakan yang membuat dedeku seakan berputar, keatas, kekiri, kebawah dan kekanan, begitu terus.. dan terus… dan beliau seperti tadi, melakukan gerakan yang tak dapat kuduga, memang hal ini membuat dedeku terasa sakit namun seolah ditekuk tapi segera hilang ditutupi oleh rasa nikmat yang amat sangat.
Detik demi detik berlalu, menit demi menit kami lewati tanpa ada rasa nikmat terlewati, dan sejauh ini tante Marissa sepertinya memegang kendali penuh atas diriku, sesekali aku memeluknya dari belakang, menciumi bagian punggung hingga leher, sembari tanganku memegang payudaranya, meremas-remasnya, memainkan putingnya dan sesaat kemudian kembali meremas-remasnya dengan keras dan itu sepertinya cukup untuk menambah sensasi kenikmatan dari apa yang kami lakukan.
Napas kami seperti sudah tak beraturan, kudengar desahan-desahan, dan racauan yang tak kumengerti yang keluar dari mulutnya, hingga dipenghujung malam ini kudengar seperti suara lenguhan panjang yang tertahan. Tubuh tante Marissa seperti bergetar dengan hebat, kepalanya tertarik kebelakang, genggaman vaginanya serasa mencengkeram dengan keras,dan beberapa saat kemudian cairan hangat sepertinya membanjiri batang penisku.
Tante Marissa menyandarkan tubuhnya pada tubuhku tanpa melepaskan penisku yang masih tetap berada dalam vaginanya, peluh membanjiri tubuhnya, dimalam yang dingin ini, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya hembusan menyentak seakan melepaskan rasa lelah yang amat sangat. Matanya melirik kearahku, tersenyum sekilas, mungkin dalam hatinya ia merasa puas dan juga merasa heran, puas karena ia telah mencapai orgasmenya yang kedua, dan heran karena aku belum juga mencapai puncak ejakulasiku.
“Fan… sekarang pelajaran selanjutnya” setengah berbisik ia memandangku sambil mengelus pipi kiriku dengan tangannya, aku hanya terdiam memandangnya, tersenyum seakan menanti jurus berikut yang akan diturunkan oleh guru kepada muridnya.
Kemudian tiba-tiba saja tante Marissa bangun, melepaskan penisku yang masih tegang didalam vaginanya, tanpa melangkah beliau berguling ke kanan, dari atas badanku ke sofa, kemudian beliau mengangkat kakinya dan kemudian menunggingkan badannya, dengan posisi pantat berada didekatku dan kepalanya diujung sana.
Melirik kepadaku seolah menyuruhku untuk menuntaskan apa yang belum aku dapat, menyuruhku agar aku memegang kendali terhadapnya, menyorongkan pantatnya, mempersilahkan lobang vaginanya untuk aku manfaatkan, dengan meletakkan tangannya pada vaginanya seakan menunjukkan bahwa disitulah tempat dimana lubang kenikmatan yang harus aku manfaatkan sebaik-baiknya.
Tak kusia-siakan kesempatan yang mungkin langka ini, mungkin inilah yang selama ini kuimpikan, dari pembicaraan dengan teman-temanku yang sudah menikah, katanya posisi inilah yang paling nikmat, tapi entahlah, sepertinya semua posisi menurutku adalah sama, karena selama ini aku belum pernah melakukannya dengan siapapun, melakukan hubungan intim dengan wanita yang benar-benar rela dan sepenuhnya sadar dengan apa yang dilakukannya. Ya, selama ini aku melakukan dengan wanita hanya satu arah saja, sedangkan apa yang kualami saat ini adalah benar-benar nyata, benar-benar wanita dewasa yang cantik jelita, dengan tubuh yang sempurna, yang dengan rela menyerahkan tubuhnya kepadaku untuk aku nikmati.
Aku segera berputar badan, mengangkat kakiku ke sofa, menekuknya, kemudian aku berdiri dengan bertumpu pada kedua lututku, dan sekarang penisku mengarah pada pantatnya, tepat didepannya kini terpampang vagina tante Marissa !.
Perlahan aku mendorongkan penisku ke depan, tepat kepada lubang vaginanya yang mengangkang, memasukkannya perlahan, dan aku tersenyum, karena kini akulah yang memegang kendali terhadapnya. Perlahan aku masukkan bagian kepala penisku, mendorongnya pelan-pelan, kulihat kearah kepala Tante Marissa yang menengok kearahku, sepertinya beliau meminta aku agar dengan cepat aku memasukkanya kedalam vaginanya. Namun, sepertinya aku ingin membalasnya, ketika penisku sudah masuk sebagian, kulihat beliau sepertinya terhenyak, kemudian memejamkan matanya, memalingkan wajahnya dariku, lurus kedepan, seolah akan menikmati terobosan penisku.
Namun aku menahannya sebentar, dan kemudian tanpa ia duga, aku menariknya kembali dengan hanya meninggalkan kepala penisku didalamnya. Tante Marissa, menengok kembali kearahku seakan memprotes tindakanku, aku tersenyum sambil cekikikan pelan, “Kena” kataku perlahan, kemudian tanpa ia duga, aku mendorongnya keras-keras hingga membuatnya terpekik. “Fandi…!” katanya seolah menjerit dengan ditahan, nampaknya ia terkaget dengan yang aku perbuat. Namun aku seolah tak mendengar suara pekikannya, karena kemudian aku menariknya lagi dan mendorongnya lagi dengan cepat dan keras, membuatnya sedikit terpental.
Dan kemudian aku mendorong dan menariknya dengan cepat, seakan mengocok-ngocok penisku, yah, mungkin inilah yang ditanyakan Tante Marissa tadi, apa yang kubayangkan seandainya aku melakukan ritual coli, sesungguhnya inilah yang aku sering imaginasikan, dengan perempuan cantik yang nungging dengan pasrah menerima apa yang aku lakukan padanya.
Terus dan terus aku lakukan, menarik, mendorong penisku kedalam vaginanya, membuatnya terayun-ayun, kadang aku mendorong tubuhku agar dapat memeluknya, menjangkau payudara putih, indah dan kenyal yang bergoyang menggemaskanku, tanpa melepaskan penisku yang terus melakukan aktifitasnya disana. Kadang Tante Marissa juga menggoyang-goyangkan pantatnya kekiri dan kekanan, kadang seolah meliuk-liuk melakukan putaran, menambah sensasi kenikmatan yang kami lakukan.
Dari mulutnya juga keluar desahan-desahan halus dan deru napas yang kembali tidak teratur.
Entah timbul dari mana, dipikiranku terlintas ingin membalas lagi keisengannya tadi, saat sedang gencar-gencarnya, aku melakukan penetrasi padanya, saat sepertinya ia sedang asyik masyuk dengan apa yang aku lakukan, tiba-tiba aku hentikan gerakanku, diam, seakan aku sedang memasang telinga, melihat kearah pintu kamar Tante Mala atau Moza, seolah-olah menyatakan bahwa mereka keluar dari kamar.
Dan itu juga membuat tante Marissa terhenti, mengangkat kepalanya memandang kearah mana aku memandang, namun begitu ia menyadari bahwa tak ada sesuatupun yang terjadi, dan mengetahui bahwa ia sedang aku permainkan, keluar kata-kata “Fandi …kamu ah !” menyebut namaku seakan memprotes apa yang aku lakukan, dan aku terkekeh melihatnya, seraya melanjutkan apa yang tadi kulakukan, mendorong kembali penisku, menariknya, seakan mengocoknya dari perlahan, kemudian mempercepatnya dan semakin cepat.
Pantat tante Marissa yang bulat menantang, seperti yang selama ini selalu kubayangkan bila aku melakukan self service, kinibenar-benar nyata berada didepanku, sepertinya aku ingin menikmati semua menu yang tersedia didepanku, mulai dari pantatnya yang kuremas-remas, menepuk-nepuknya seperti adegan dalam film porno yang pernah aku saksikan, walaupun aku tak tahu apa yang dirasakan oleh Tante Marissa, namun sepertinya memang ada reaksi terhadapnya, kemudian memegang pinggulnya yang laksana gitar, menariknya kedalam ke arahku, seakan-akan ingin membuat ujung pantatnya menyentuh badanku, agar penetrasi penisku menjangkau semakin dalam vaginanya, terus menerus membuat bunyi seperti orang bertepuk tangan ketika pantatnya bersentuhan dengan bagian sebelah atas pahaku.
Beberapa saat berlalu, sepertinya tak puas-puasnya aku menyetubuhinya, begitu juga dengan Tante Marissa, sepertinya beliau juga menikmati dengan apa yang kulakukan. Kurasakan beliau juga sangat bersemangat melayaniku, melakukan perlawanan yang membuat pertarungan semakin seru dan panas, hingga saat kurasakan penisku semakin menegang dan mengeras, ketika tekanan dan genggaman vaginanya seolah-olah mencengkeram dengan beringas, ketika kurasakan diujung penisku sepertinya akan menembakkan peluru dengan hulu ledak cairan kental dan panas, kulihat dibawahku sepertinya tante Marissa juga merasakan hal yang sama, goyanganya semakin dipercepat, memaju mundurkan pantatnya, napasnya kelihatan seolah terengah-engah, kulihat ia sepertinya merapatkan pahanya, agar penisku semakin terjepit.
Sepertinya dari mulutnya kudengar seruan pelan namun jelas
“Hayo Fan !” seakan menyuruhku untuk berbarengan menuntaskan apa yang telah kami mulai.
Kudorong pantat putih, bulat, montok itu dengan kencang, kusentakkan dengan keras, kutengadahkan kepalaku kebelakang. Aku seakan ingin berteriak dengan kencang, ketika lendir nan wangi khas itu kumuntahkan, namun menyadari bahwa mungkin teriakanku akan mengundang orang, aku hanya mampu meneriakkan kata “aaaahhhrrrgggghhhhhh” dengan tertahan. Dan mungkin pada saat bersamaan sepertinya aku juga mendengar desahan dan lenguhan panjang mulut tante Marissa, sementara kepalanya menunduk, terkulai lemas, namun tubuhnya masih dalam posisi semula, tangannya masih menahan berat tubuhnya.
Kerebahkan badanku kedepan, memeluknya dari belakang, penisku berdenyut pelan, memuntahkan sisa-sisa cairan kedalam lubang vaginanya. Tak kusangka keringat mengucur deras dari badanku, bercampur ketika tubuh kami bersatu. Tante Marissa menjatuhkan badannya ke sofa dengan tubuhku masih menempel pada punggungnya. Letih dan lemas menyelimutiku, kutarik napasku dengan pelan dan kuhembuskan dengan cepat, seolah akan mengatur aliran napasku. Begitu juga dengan Tante Marissa, sepertinya melakukan hal yang sama, melepaskan lelah dengan mengatur jalur pernapasnya.
Pipi kami saling bersentuhan, saat helaan napas sepertinya sudah tak terdengar, kudengar suaranya jelas namun pelan,
“Fandi, kamu Nakal !”, aku tersenyum mendengarnya, namun aku seakan enggan untuk menjawabnya, tak ada yang keluar dari mulutku.
Saat ini aku hanya tak ingin melepaskan tindihan badanku pada badannya, seolah ingin terus menikmati apa yang kurasakan saat ini. Namun tiba-tiba sesuatu menyadarkanku, aku takut sepertinya ada yang memperhatikan kami berdua, ketika sepertinya ada yang menyuruhku untuk bangun, kucium dengan cepat,
“Makasih ya Tan buat pelajarannya”, sambil aku mengangkat badanku, menjejakkan kakiku pada lantai, membungkuk untuk meraih pakaianku yang berserakan di lantai.
Tante Marissa sepertinya juga melakukan hal yang sama, duduk, kemudian mengumpulkan pakaiannya yang berserakan.
Bergegas aku mengenakan pakaianku, namun saat mengenakannya, kulihat tante Marissa, setelah memastikan pakaiannya terkumpul semua, menaruhnya pada lengannya, mengepitnya ke tubuhnya, memastikannya tak terjatuh, tersenyum kepadaku sesaat, meninggalkanku dengan tubuh polosnya, berjalan menuju kamarnya.
Dan sepertinya aku juga tak ingin berlama-lama, udara dingin mulai kurasakan, kuraih remote yang tergeletak dilantai, mematikan televisi dan bergegas meninggalkan ruangan tengah itu, menuju kamar dimana seharusnya aku tidur.
Kutarik handle pintu dengan perlahan, memastikannya agar tak berbunyi ketika aku membukanya, tak ingin aku melihat Moza terbangun dan melihatku memasuki kamar, dan menanyakanku mengapa aku meninggalkannya, bertanya padaku apa yang telah aku lakukan.
Pelan, kuhampiri ranjang tempat dimana gadis cantik itu tertidur, meraih sisi tempat tidur, memastikan tubuh wanita itu tertidur pulas, memastikan aku tak mengganggunya dengan kedatanganku, kurebahkan badanku disisinya, tanpa bersuara, berusaha memejamkan mata.
Kembali bayangan-bayangan kejadian barusan yang kualami, seperti berkelebat melewati mataku, ada rasa puas, ada rasa berderu didadaku, juga sepertinya ada rasa bersalah menimpaku, sepertinya aku telah mengkhianati wanita disampingku, entahlah, aku merasakan bahwa hatiku seperti terpaku pada wanita disebelahku ini, seperti ada perasaan lain, seakan hatiku telah terpaut dengannya, apakah aku menyayanginya lebih dari seorang kakak dengan adiknya ?, walaupun dalam agama aku boleh menikahinya, karena aku tidak sedarah dengannya, bukan saudara kandungnya, bukan pula saudara sepersusuanku, melainkan hanya kakak bawaan, karena ibuku dan ibunya adalah sepupu jauh, kakek buyut kami saja yang sama, namun jelas kini aku telah terlarang menikahinya, karena aku telah bersetubuh dengan ibunya juga dengan tantenya.
Pikiran-pikiran itu terus membayangiku, kupeluk tubuhnya tanpa rasa napsu lagi, namun kini seakan rasa sayang menggantikannya, seolah aku tak ingin melepaskannya, membuatku sedikit tenang, hingga membuatku tertidur pulas.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,