Pertempuran Terakhir
- Home
- Cerita Sex Gay
- Pertempuran Terakhir
CERITA SEX GAY,,,,,
Pertempuran Terakhir
Aku mengangkat pedang kayuku tinggi-tinggi ketika Tetua Demilis mencari sukarelawan untuk membantu para pemberontak. Serentak setiap orang yang hadir menatap wajahku, dan sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak. Tetua Demilis menggeleng-gelengkan kepala melihatku ditertawakan seluruh hadirin sore itu.
“Saudara-saudara sekalian, kita tidak butuh ksatria yang tangguh kalau ia sama sekali tidak memiliki kemauan yang keras untuk menegakkan keadilan di negeri ini!” kata Tetua Demilis.
“Izinkan aku Tetua!” teriakku, “Izinkan aku menjadi sukarelawan, Tetua!”
Tetua Demilis menggelengkan kepala. “Terima kasih Faran, tetapi aku sudah mendapatkan lima sukarelawan yang kubutuhkan. Mungkin kau bisa mencobanya lain kali.” kata Tetua Demilis.
Aku kecewa sekali, tetapi apa boleh buat. Aku hanya dapat melihat kelima sukarelawan yang terpilih tersebut berjalan dengan gagah untuk menerima jubah besi dari Tetua Demilis.
Hari semakin senja, namun lapangan ini masih saja dipenuhi oleh orang-orang yang ingin melihat jalannya penyerahan jubah besi untuk para sukarelawan. Kulihat Narayan berdiri di depan sebagai salah satu penerima jubah besi. Dia tersenyum kepadaku, dan aku membalas senyumannya dengan melambaikan tangan. Narayan adalah teman sepermainanku semenjak kecil. Panglima Thad, ayahnya meninggal pada pertempuran Kirrin sepuluh tahun yang lalu.
Pertempuran Kirrin sepuluh tahun yang lalu merupakan pertempuran terbesar yang pernah terjadi diantara para pemberontak dan kaum Mordenis. Dan yang lebih membuat pertempuran Kirrin selalu diingat oleh rakyat negeri ini adalah terbunuhnya Panglima Thad, atau yang lebih dikenal dengan Thad Sang Meteor Merah.
Cerita Gay http://ceritakita.hexat.com
Aku mengikuti upacara penyerahan jubah besi tersebut hingga usai. Kulihat Narayan turun dari panggung dan disambut ibunya dengan suka cita. Aku mendekatinya dan menyalami tangannya erat-erat tanpa berkata sepatah kata pun. Narayan menarik tanganku, memelukku, dan menepuk-nepuk bahuku.
“Terima kasih, Faran! Terima kasih atas dukungan kamu selama ini!”
********
Matahari sudah tidak nampak lagi di ufuk barat ketika aku meninggalkan lapangan yang mulai lengang. Entah mengapa sore itu aku tidak ingin langsung pulang. Aku masih teringat bagaimana ekspresi wajah Narayan ketika menerima jubah besi dari Tetua Demilis. Masih jelas terbayang di benakku kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Cita-citanya selama ini akhirnya berhasil diraihnya.
Aku terus berjalan menuju pantai, tempat satu-satunya yang kusukai. Sebenarnya aku masih merasa kecewa karena aku tidak mendapat kesempatan menjadi sukarelawan para pemberontak. Aku duduk di atas pasir pantai. Kubiarkan air membasahi ujung bajuku. Pantai malam itu sangat tenang, tidak seperti hari-hari terakhir ini. Tiba-tiba kurasakan seseorang menepuk bahuku dari belakang.
“Hey, Arya!” seruku ketika melihat Narayan berdiri di belakangku, mengenakan jubah besinya.
Dia hanya tersenyum melihat keterkejutanku.
“Aku tadi ke rumahmu. Kata ibumu kamu belum pulang, aku yakin kamu pasti kemari.” katanya.
Aku mengangguk sambil terus memandanginya. Narayan terlihat lebih gagah mengenakan jubah besinya. Jubah besi itu berwarna keperakan.
“Ini jubah apa?” tanyaku sambil menunjuk jubah besinya.
“Jubah Bintang Perak. Lihat gambar bintang-bintang di bagian belakang.” katanya sambil membalikkan badan menunjukkan gambar bintang-bintang yang membentuk sebuah konstelasi.
Aku mengangguk mendengar penjelasannya. “Aku sekarang tidak bisa lagi memanggilmu Arya. Sekarang namamu Narayan Sang Bintang Perak.”
Narayan tersenyum kecil. “Jangan begitu.”
Kemudian kami berdua duduk di tepi pantai sambil bercakap-cakap tentang jubah itu, tentang cita-cita kami, tentang Panglima Thad, dan tentang kehidupan ini.
“Faran, apa yang kamu percayai dalam kehidupan ini?” tanya Narayan.
“Yang kupercayai?” aku balik bertanya, “Aku tidak mengerti apa maksudmu..”
“Kamu percaya dewa-dewa? Apakah kamu percaya bahwa mereka selalu benar?”
“Dulu, mungkin aku percaya mereka. Bahwa mereka selalu benar dan akan selalu melindungi Nydus. Tetapi tidak lagi semenjak sepuluh tahun terakhir ini, kamu tahu sendiri aku sangat membenci Kaum Mordenis yang setengah dewa itu. Aku heran, mengapa kaum setengah dewa seperti itu bertindak seperti binatang, rakus.”
“Lalu apa yang kamu percayai dalam hidup ini?” tanya Narayan lagi.
“Aku tidak tahu.” kataku. “Kejujuran, keadilan, kesetiaan, rasa aman, semua sudah tidak ada lagi di Nydus..” kataku mengambang.
Narayan menatapku, menunggu lanjutan kalimatku.
“Namun aku tidak kehilangan seluruh kepercayaanku. Yang kupercayai kini hanyalah rasa cinta dan kasih sayang. Karena disana aku memperoleh semua yang telah hilang, disana aku memperoleh kejujuran, kesetiaan, keadilan, rasa aman..” kataku.
Tanpa sadar kusandarkan kepalaku di bahu Narayan. Narayan mengelus rambutku dengan lembut dan memelukku erat-erat. Kemudian ia mencium kepalaku. Untuk sesaat aku kaget dengan apa yang dilakukan Narayan, namun aku hanya diam saja.
“Faran, kamu sayang nggak kepadaku?” tanya Narayan.
“Tentu saja aku sayang kepadamu, kita kan berteman sejak kecil.” jawabku spontan.
“Bukan itu maksudku..”
“Lalu bagaimana?” tanyaku setengah tidak mengerti.
Kemudian dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, begitu dekat hingga jantungku terasa berdebar sangat kencang. Sesaat aku memejamkan mataku ketika kurasakan sesuatu yang basah dan hangat menyentuh bibirku. Kemudian aku membuka mataku, kulihat Narayan tersenyum kepadaku.
“Aku sayang kamu, Faran.” kata Narayan.
“Aku.. aku.. aku.. aku tidak tahu, Arya.” kataku sambil memalingkan wajah.
Narayan menundukkan kepala sambil perlahan melepaskan pelukannya.
“Maafkan aku, Faran.”
Aku tersenyum, kuangkat dagunya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku juga sayang kamu..” kataku.
Narayan memelukku erat-erat. “Terima kasih, Faran. Terima kasih!”
Tiba-tiba suasana pantai berubah. Angin bertiup semakin lama semakin kencang, dan laut yang tadinya tenang, kini menjadi penuh ombak besar bergulung-gulung seolah ingin menenggelamkan Nydus dan seluruh isinya. Langit yang semula cerah kini berawan, dan halilintar menyambar-nyambar. Narayan memelukku, berusaha melindungiku. Dari jubah besinya keluar cahaya perak lembut yang mengelilingi kami berdua. Ombak besar semakin tinggi dan bergulung-gulung, sedangkan halilintar semakin keras menyambar-nyambar. Narayan mengajakku meninggalkan pantai, tetapi aku menolak.
“Kurasa aku harus tetap disini.” kataku.
“Mengapa?” tanya Narayan heran.
“Aku tidak tahu, tetapi aku harus tetap disini.”
“Kalau begitu aku akan menjagamu.” kata Narayan tanpa melepaskan pelukannya.
Sesaat kemudian badai tersebut reda dengan tiba-tiba, dan kulihat seekor burung kecil berwarna keemasan terbang berputar-putar di hadapan kami.
“Biarkan angin menjadi temanku, dan jadilah api sebagai musuhku. Maka aku akan mengepakkan sepasang sayap emasku dan terbang mengelilingi Nydus, menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir.”
Tiba-tiba burung itu berkata seperti itu sambil terus berputar-putar di hadapan kami, dan menghilang begitu saja.
Aku heran sekali dengan apa yang baru saja terjadi, demikian juga dengan Narayan.
“Menurutmu apa yang baru saja terjadi?” tanyaku kepada Narayan.
Narayan menggeleng. “Aku tidak tahu, sebaiknya kita pulang, dan kita tanyakan kepada Tetua Demilis.”
Aku mengangguk. “Kita pulang, tetapi jangan katakan apa-apa kepada Tetua Demilis.” kataku.
“Mengapa?” tanya Narayan.
“Tidak apa-apa, besok saja aku tanyakan sendiri.”
Narayan mengangguk dan mengapit tanganku mengajakku pulang.
Malamnya aku sama sekali tidak dapat tidur, aku hanya terbaring di ranjang sambil membalik-balikkan tubuhku. Masih terasa di bibirku, ketika Narayan menciumku, tiba-tiba jantungku berdegup kencang ketika aku mengingat hal itu. Hal kedua yang juga kupikirkan yaitu kata-kata burung kecil ketika terjadi badai di pantai.
“Biarkan angin menjadi temanku, dan jadilah api sebagai musuhku. Maka aku akan mengepakkan sepasang sayap emasku dan terbang mengelilingi Nydus, menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir.” aku bergumam menirukan kata-kata burung kecil tadi.
Aku masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan burung kecil itu dengan kata-kata “..menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir.”
“Apakah mungkin dialah penyelamat rakyat Nydus seperti yang diceritakan dalam legenda awal terjadinya Nydus?” pikirku.
Kemudian aku bangun dari tempat tidurku. Aku sudah merasa bosan berada di atas ranjang tanpa merasa mengantuk sedikitpun. Aku keluar rumah ingin berjalan-jalan menghilangkan kebosanan.
Malam belum terlalu larut, namun jalanan sudah sepi sekali. Orang-orang lebih suka berdiam di dalam rumah semenjak perseteruan antara para pemberontak dan Kaum Mordenis semakin memanas. Aku berjalan menuju rumah Narayan yang tereletak tak jauh dari rumahku. Kuketuk jendela kamarnya begitu aku sampai di depan rumahnya.
“Siapa itu?” tanya Narayan dari dalam kamarnya.
“Ini aku, Faran.” kataku.
“Hey, Faran! Masuk!” katanya sambil menuju pintu depan.
“Nggak usah lewat depan, lewat sini saja. Aku nggak enak, kan sudah malam..” kataku.
Kemudian Narayan membukakan jendela, hingga aku dapat dengan mudah melompat masuk ke kamarnya melalui jendela tersebut.
“Kenapa? Nggak bisa tidur yah?” tanya Narayan.
Aku mengangguk. Kulihat Narayan sedang melepas jubah besinya. Sesaat kemudian ia selesai melepas jubah besinya. Kini yang kulihat, Narayan setengah telanjang berdiri di hadapanku hanya memakai celana dalam. Kutatap lekat-lekat setiap lekuk tubuhnya, bahunya yang kokoh, dadanya yang bidang, dan lain-lain. Narayan merasa jengah karena terus kupandangi. Tiba-tiba dia menghampiriku dan mencium bibirku seperti yang dia lakukan sore tadi di pantai.
Aku terpana sesaat. Seperti sore tadi, aku memejamkan mataku. Dadaku terasa sesak dipenuhi oleh rasa tidak menentu yang bergejolak. Sekali lagi, sesuatu yang hangat, basah, dan lembut itu menyentuh bibirku. Kali ini kulumat sesuatu yang hangat, basah dan lembut tadi. Kurasakan bibirnya juga melumat bibirku. Kupegangi kedua pipinya untuk menahan lumatan bibirnya, aku menarik nafas dalam-dalam. Kali ini aku merasakan sesuatu memasuki mulutku, menjelajahi setiap rongga dan sela-sela gigiku. Aku hanya dapat menangkap lidahnya dengan bibirku. Nafasku terengah-engah, sesaat sepertinya aku berada di dunia lain.
Aku memeluk tubuhnya yang setengah telanjang itu erat-erat sambil tanganku mengelus setiap jengkal permukaan tubuhnya. Kemudian kurasakan sesuatu yang keras dari balik celana dalamnya menempel di pahaku. Narayan menyudahi ciumannya di bibirku. Bibirnya turun, dan menciumi leher dan bahuku, sambil tangannya berusaha membuka bajuku.
Sesaat kemudian bajuku sudah terlepas, dan ia masih menciumi leher, bahu dan dadaku. Kurasakan ini sensasi kenikmatan yang sama sekali belum pernah kurasakan sebelumnya. Narayan menuntunku ke tempat tidur, dan membaringkanku disana. Sedangkan ciumannya semakin turun ke arah perut dan pusarku, kemudian dia berusaha membuka celanaku.
“Jangan, Arya..” pintaku.
Namun Narayan terus saja membuka celanaku.
Kini aku hanya memakai celana dalam saja, sama seperti Narayan. Kemaluanku yang mengeras terlihat jelas di balik celana dalamku. Narayan mengelus dan memijat perlahan kemaluanku yang mengeras itu. Aku menjerit tertahan dan menggeliat perlahan menikmati pijatannya. Lalu Narayan membuka celana dalamku dan memainkan kemaluanku yang tegak berdiri. Sedangkan aku hanya menggeliat-geliat menikmatinya. Kemudian Narayan mengulum kemaluanku dan memainkan lidahnya.
Kupegangi kepala Narayan sambil kurasakan nikmatnya kuluman bibirnya, begitu nikmatnya hingga kedua kakiku mengejang. Kemudian kuangkat kepalanya, sehingga aku berhadap-hadapan dengannya. Kurasakan tubuhnya menindihku dan kemaluannya yang keras menyentuh kemaluanku. Lalu aku berusaha naik dan duduk di atas tubuhnya. Kini Narayan telentang di bawahku sambil tangannya memegangi kedua bahuku.
Aku duduk di atasnya sambil kuelus dadanya yang begitu bidang. Kemudian aku menuju ke bawah dan serta-merta melepaskan celana dalamnya. Terlihat batang kejantanannya yang kemerahan berdiri tegak seolah menantangku. Kugenggam batang kejantanannya itu dan kuciumi hingga Narayan menggeliat-geliat. Aku mencoba mengulum batang kejantanannya dan memainkan lidahku.
Narayan semakin menggeliat-geliat di atas tempat tidur sambil berusaha meraih kemaluanku. Kemudian posisi badannya berputar, sehingga kami saling dapat mengulum kemaluan kami. Kurasakan sebuah kenikmatan yang luar biasa saat itu. Semakin aku merasa nikmat, semakin aku bersemangat memainkan batang kejantanan Narayan dengan tangan dan mulutku, hingga pada suatu titik yang aku tidak lagi mampu menahannya.
“Arya, aku mau keluar..” kataku lirih.
“Keluarkan saja, Faran. Aku juga mau keluar..”
Kemudian kurasakan sebuah kenikmatan puncak saat itu ketika seluruh cairanku terasa menyembur keluar dari kemaluanku, dan sesaat kemudian kurasakan seluruh otot tubuhku mengejang. Tak berapa lama berselang, kurasakan cairan hangat memenuhi mulutku, aku segera menelannya dan melepaskan batang kejantanan Narayan dari mulutku.
Narayan kemudian berpindah posisi, sehingga kami dapat saling memeluk. Ia mengambil selimut dan menyelimutiku, dan berbaring di sebelahku. Aku memeluknya dan menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang. Aku menarik nafas dalam-dalam, membaui aroma jantan dari tubuh Narayan.
Narayan mengelus kepalaku dengan lembut sambil berkata, “Maafkan aku, Faran..”
Aku menggeleng, “Nggak ada yang perlu dimaafkan, Arya. Nggak pa-pa kok.”
Perlahan kuelus dada Arya sambil kutempelkan telingaku. Kudengar suara jantung yang bergemuruh dengan sejuta perasaan yang tidak menentu, sama seperti yang kualami.
Narayan mengangkat kepalaku dan menciumi kening serta wajahku, kemudian memelukku erat-erat dan berkata, “Aku sayang kamu Faran, dan aku nggak ingin kehilangan kamu selamanya..”
Aku memandangnya dan berkata, “Aku juga menyayangimu Arya.”
Kemudian kupagut bibir merahnya perlahan, sambil kunikmati setiap desahan nafas dan setiap gerakan bibir yang ia lakukan.
Untuk beberapa waktu kami hanya saling mencium bibir, sambil sesekali kulepas ciumanku sekedar untuk mengambil nafas. Sampai menjelang pagi, yang kulakukan dengan Narayan hanyalah bercakap-cakap di atas tempat tidur.
Sinar matahari menerobos jendela kamar Narayan ketika kubuka mataku perlahan. Aku sempat tertidur sesaat ketika hari menjelang pagi. Kulihat Narayan telah memakai jubah besinya dan duduk di ujung tempat tidur. Begitu melihatku bangun, Narayan mendekatiku dan mancium bibirku.
“Selamat pagi, Faran!” katanya.
Aku hanya tersenyum sambil memandangi Narayan yang terlihat begitu gagah mengenakan jubah Bintang Peraknya. Kemudian aku bangun dari tempat tidur, dan memeluk Narayan dari belakang erat-erat.
“Eh, apa-apaan ini!” Narayan berseru kaget.
Aku tersenyum. “Aku akan sangat merindukanmu, Arya!” kataku.
Narayan menoleh hingga wajah kami saling berhadap-hadapan, dan sedetik kemudian kurasakan bibirnya mencium bibirku.
“Aku juga akan sangat merindukanmu, Faran!” katanya seusai menciumku.
Kemudian aku melepaskan pelukanku. “Arya, aku harus pulang. Karena aku khawatir ibuku mencariku.” kataku.
Narayan mengangguk.
“Faran..”
“Ada apa lagi?” tanyaku.
“Terima kasih untuk semuanya!” kata Narayan.
“Sama-sama, aku juga terima kasih, Arya!” balasku sambil melangkah keluar kamar Narayan.
Biasanya sepagi ini orang-orang sibuk berangkat ke pasar atau ke kuil dewa untuk sembahyang. Namun pagi ini kulihat orang-orang bergegas menuju lapangan. Aku heran, hingga kutanyakan kepada orang yang lewat.
“Mengapa hari ini semuanya bergegas ke lapangan, Pak?” tanyaku.
“Tetua Demilis menginginkan kita berkumpul disana, Nak..” jawab orang itu sambil berlalu dari hadapanku.
“Tetua Demilis menyuruh berkumpul? Pasti telah terjadi sesuatu..” pikirku.
Aku segera menuju lapangan untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Di lapangan, Tetua Demilis sudah duduk di atas mimbar menunggu seluruh penduduk kota berkumpul di lapangan. Kulihat Narayan berdiri di dekat mimbar. Serta-merta kupanggil Narayan.
“Hey, Arya!”
Narayan melihat ke arahku. “Faran!” teriak Narayan sambil berlari menghampiriku.
“Ada apa ini?” tanyaku.
Narayan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Setelah kau pulang, ada utusan Tetua Demilis memanggilku untuk segera berkumpul di lapangan.”
Aku mengangguk sambil terus memperhatikan apa yang terjadi di mimbar. Kulihat Tetua Demilis membawa sebuah kotak yang dibungkus kain hitam.
Beberapa saat kemudian Tetua Demilis membuka acara. Narayan masih saja berdiri di sampingku sambil memeluk bahuku.
“Saudara-saudara sekalian!” kata Tetua Demilis membuka acara ini, “Maafkan saya kalau saya menginginkan saudara-saudara sekalian berkumpul pagi ini secara mendadak. Saya mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan tadi malam. Bahwa Kaum Mordenis akan mengadakan penyerangan ke kota ini esok malam. Setelah mereka kita kalahkan di Almar, mereka membangun pertahanan di Sanserio. Menurut berita yang saya terima tadi malam, mereka akan menyerang Alasar esok malam. Jika kota ini jatuh, maka seluruh Nydus pasti jatuh ke tangan mereka.”
Hadirin yang berkumpul saat itu menjadi gelisah, dan suara-suara riuh rendah terdengar.
“Lalu bagaimana nasib kami, Tetua?” teriak seorang tua.
“Tenanglah, saudara-saudara sekalian. Pertahanan kita saya rasa sudah cukup, namun tadi malam telah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Sewaktu aku tidur, aku bermimpi bertemu Dewi Aykara. Beliau menyerahkan burung piaraannya yang bernama Kinara untuk melindungi Nydus dari kaum Mordenis. Benar-benar sesuai dengan legenda terjadinya Nydus, dan ramalan bahwa Nydus akan diselamatkan oleh seekor burung surga.”
Suasana hening menyelimuti lapangan itu. Orang-orang yang hadir disitu tidak berani berkomentar sepatah kata pun. Tetua Demilis diam sejenak, menarik nafas. Kemudian ia membuka bungkusan hitam yang sedari tadi dibawanya. Terlihat sebuah kotak kaca yang berisi jubah besi memancarkan cahaya keemasan.
“Inilah Kinara Si Burung Surga..” kata Tetua Demilis, “Namun sayang sekali, Dewi Aykara tidak memberitahuku bagaimana menghidupkan Kinara. Beliau hanya berkata, akan ada seseorang yang membangunkan Kinara dari tidurnya. Maka dalam kesempatan ini saya mengajak saudara-saudara sekalian untuk mencoba memakai jubah Burung Surga ini.”
Kemudian beberapa orang mencoba, namun selalu saja gagal. Kata mereka, mengangkat kotak kaca itu saja berat sekali.
“Tetua Demilis yang dapat mengangkat kotak kaca itu tidak mampu memakainya, apalagi orang lain..” gumam seorang hadirin.
Hari semakin siang, matahari di atas Alasar bersinar terik, namun masih saja jubah Kinara itu berada di tempatnya, tidak ada seorangpun yang dapat menyentuhnya. Orang-orang yang hadir disitu semakin penasaran dengan jubah besi tersebut.
“Di sebelah kiri kotak ini ada tulisan, namun ditulis dalam aksara Nydus kuno, dan aku tidak dapat membacanya.” kata Tetua Demilis.
Tiba-tiba aku ingin maju dan mencoba memakai jubah itu.
“Arya, aku ingin mencoba jubah itu, menurutmu bagaimana?” tanyaku kepada Narayan yang berdiri di sampingku.
“Mencoba memakai jubah itu?” tanya Narayan memastikan.
Aku mengangguk pasti. “Bagaimana?” tanyaku.
“Coba saja, mungkin kamu bisa memakainya..” kata Narayan setengah tak yakin.
Aku langsung menuju mimbar, dan kukatakan kepada Tetua Demilis bahwa aku ingin memcoba membangunkan Kinara. Tetua Demilis mempersilakanku. Aku mencoba mengangkat kotak kaca itu, ternyata sungguh berat. Lalu aku mencoba membuka kotak kaca itu, dan gagal. Keringatku mulai bercucuran. Aku diam sejenak mengatur nafasku. Tiba-tiba aku teringat burung keemasan yang kemarin sore kutemui di pantai bersama Narayan. Lalu terpikir olehku jika perkataan burung tersebut kuulangi sekali lagi disini.
“Biarkan angin menjadi temanku, dan jadilah api sebagai musuhku. Maka aku akan mengepakkan sepasang sayap emasku dan terbang mengelilingi Nydus, menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir..” seruku keras.
Yang terjadi kemudian sungguh di luar perhitunganku. Langit yang semula cerah dan matahari yang semula bersinar terang, tiba-tiba menjadi gelap, dan udara yang semula terasa gerah, tiba-tiba terasa sangat dingin menusuk tulang. Dalam suasana gelap tersebut, jubah Kinara nampak sangat berkilauan. Kemudian tiba-tiba angin puyuh menerpaku dan berputar-putar di sekeliling tubuhku, dan ajaib! Jubah Kinara itu sudah terpasang rapih di tubuhku.
Semua orang yang hadir disana memandangku takjub. Demikian juga Tetua Demilis. Narayan yang sedari tadi berada di tengah kerumunan orang-orang di lapangan, segera berlari menghampiriku, dan memelukku erat-erat.
Tak lama kemudian senja pun tiba. Tanpa terasa aku berada di lapangan ini seharian penuh. Jubah Kinara itu masih kupakai. Kuperhatikan jubah itu baik-baik. Jika kurentangkan tanganku, maka helai-helai sayap di bawah tangan akan mengembang, dan jika kugerakkan tanganku sedikit saja, maka aku dapat terbang.
Narayan memandangku dengan penuh kekaguman.
“Sudahlah Arya!” kataku sambil menutupkan tanganku ke matanya.
Narayan memegang kedua tanganku, menarikku, dan mencium bibirku. “Kamu memang luar biasa, Faran.” katanya.
Aku tersenyum, dan kupeluk Narayan. “Kamu juga luar biasa, Arya.”
Kami berdua berjalan menuju kediaman Tetua Demilis untuk merencanakan strategi perang esok malam.
Di kediaman Tetua Demilis sudah ada delapan orang. Aku menyapa mereka semua ketika aku memasuki kediaman Tetua Demilis. Tetua Demilis segera memulai penyusunan strategi untuk esok. Kami akan dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing berisi lima orang. Kelompok pertama menghadang musuh dari selatan, karena menurut informasi yang didapat Tetua Demilis, musuh akan menyerang dari selatan. Sedangkan kelompok yang kedua akan menghadang musuh dari barat, karena pertahanan paling lemah dari kota ini adalah sebelah barat yang berbukit-bukit.
Tetua Demilis memasukkanku ke kelompok dua, sedangkan Narayan masuk kelompok satu. Aku sempat protes, namun Tetua Demilis menjelaskan, bahwa kemampuanku terbang sangat diperlukan di daerah berbukit-bukit, sedangkan Narayan sangat diperlukan di bagian selatan, karena kemampuan bertempurnya hebat. Setelah selesai penyusunan strategi, diputuskan kami semua berangkat sekarang, sehingga kami mempunyai waktu mempelajari medan hingga esok hari.
Rinka dengan jubah Badai Saljunya, Mayan dengan jubah Pelanginya, Kyrio dengan jubah Serigalanya, dan Raditya yang mengenakan jubah Matahari Biru adalah anggota kelompokku, kelompok dua. Dari kelima anggota kelompok dua, hanya Rinka yang dapat berkomunikasi baik dengan kelompok satu maupun dengan Tetua Demilis, karena Rinka memiliki kemampuan telepati.
Malam itu kami berangkat menju perbatasan kota sebelah barat. Tujuan kami adalah bukit Toddar. Setelah berjalan selama lima jam, sampailah kami di bukit Toddar. Setelah beristirahat sebentar aku meminta Rinka untuk menghubungi Narayan yang mungkin sudah sampai di perbatasan selatan kota ini.
“Kata Narayan, ternyata kita salah perhitungan. Musuh datang malam ini, untung dia sudah sampai satu jam yang lalu. Tetapi dia belum membaca medannya. Aku khawatir, Faran!” kata Rinka.
Aku diam saja, hatiku gelisah. Aku benar-benar mengkhawatirkan keadaan Narayan.
“Rinka, bagaimana kalau aku terbang ke selatan, nanti kalau ada apa-apa di sini, hubungi saja aku.”
Rinka membesarkan kedua bola matanya. “Kamu mau terbang ke selatan?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Kurang lebih dibutuhkan waktu satu jam dalam kondisiku yang capek seperti ini.”
“Baiklah, aku berjanji akan menghubungimu jika ada sesuatu yang tidak dapat kami selesaikan.” kata Rinka.
“Terima kasih, Badai Salju! Pamitkan aku ke teman-teman yang lain.” kataku sambil melesat terbang menuju selatan.
“Hati-hati, Kinara!” teriak Rinka sambil melambaikan tangannya.
********
Satu jam kemudian aku sampai di perbatasan selatan. Kulihat pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, tetapi aku tidak melihat Narayan. Aku segera turun dan membantu teman-temanku.
“Sayap-sayap emas!” teriakku sambil mengibaskan kedua sayapku, dan beberapa prajurit Mordenis bergelimpangan tertusuk sayap emasku.
Tak lama kemudian seluruh pasukan Mordenis dapat kuatasi. Tetapi biasanya mereka menyerang dalam beberapa gelombang, dan ini masih gelombang pertama.
“Mana Narayan?” tanyaku kepada Darien Si Bulan Sabit.
“Disana! Dia terluka ketika melawan Amashan.” jawab Darien.
“Amashan?” tanyaku memastikan.
Darien mengangguk pasti. “Ya! Amashan.”
Aku tidak tahu strategi apa lagi yang dipakai oleh Kaum Mordenis, karena Amashan merupakan panglima tinggi di Kaum Mordenis, dan dia terkenal sebagai Kstaria yang sangat tangguh. Aku sangat khawatir akan keadaan Narayan, dan aku melesat ke arah yang ditunjukkan oleh Darien dan mencari Narayan.
“Arya! Dimana kamu? Arya!” teriakku.
“Faran? Aku disini Faran!” terdengar suara Narayan.
Langsung aku menuju asal suara tersebut. Kulihat Narayan terbaring di tanah berlumuran darah.
“Faran, aku telah membunuhnya! Aku telah membunuhnya, Faran!” teriak Narayan begitu melihatku.
“Siapa?” tanyaku sambil memeriksa luka Narayan.
Ternyata lukanya benar-benar parah, dia telah kehilangan banyak darah.
“Amashan. Aku telah membunuh Amashan, Faran!” kata Narayan penuh kemenangan.
Kemudian tiba-tiba Narayan menutup matanya.
“Arya! Arya! Arya!” teriakku sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya.
“Kamu tidak boleh mati, Arya!” teriakku lagi.
Kuraba jantung Narayan, dan terasa sudah tidak berdenyut lagi. Narayan telah mati. Mataku berkunang-kunang, dan pandanganku jadi gelap. Samar-samar kudengar pasukan Mordenis datang lagi, tetapi aku sudah tidak dapat lagi bergerak.
“Awas Faran! Di belakangmu!” samar-samar kudengar suara Darien memperingatkanku.
“Bulan Sabit Merah!” teriak Darien sambil menerjang sekumpulan prajurit Mordenis yang mengepung kami.
Selarik sinar kemerahan memancar dari tangan kiri Darien. Untuk sesaat Darien berhasil melindungiku. Aku tetap saja tidak dapat melihat dan bergerak sedikitpun. Kemudian kurasakan sebilah pedang menebas punggungku. Sakit itu terasa sebentar saja, selanjutnya aku tidak merasakan apapun. Suara-suara perang yang tadinya samar-samar, kini tidak terdengar sama sekali. Seolah aku berada di sebuah ruangan kosong yang sangat sepi.
Tiba-tiba kudengar suara Rinka.
“Kinara! Bagaimana keadaan disana?” tanya Rinka.
“Keadaan disini baik-baik saja, Rinka. Tetapi Arya telah meninggal.” jawabku.
“Astaga! Narayan telah..” suara Rinka semakin lama semakin samar.
Mungkin aku telah meninggal juga. Tetapi mengapa aku tidak bertemu dengan Arya? Lalu kurasakan tubuhku diguncang-guncangkan dengan kuat.
********
“Bangun! Bangun, Kak!”
Aku membuka mataku. Kulihat Nita adikku mencoba membangunkanku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Tuh, ada telepon dari Kak Rangga.” kata Nita.
Aku melompat dari tempat tidur dan segera menuju telepon.
“Halo, Rangga?”
“Iya Fan! Kamu udah kerjakan makalah Bahasa Indonesia belum? Besok kan dikumpulkan.” kata Rangga.
“Belum Ngga! Nanti malem aja, lagi males nih.” kataku.
“Oo, ya udah kalo gitu. Eh kamu tadi sedang tidur yah?” tanya Rangga.
“Iya! Bangun gara-gara telepon dari kamu!” kataku jengkel.
“Hehehe, sorry deh, kalo gitu lanjutin tidur kamu aja yah!” kata Rangga sambil menutup teleponnya.
“Sialan!” umpatku pelan.
“Kakak tuh kalo tidur jangan kayak kebo dong, kan Nita banguninnya susah!” kata Nita yang tiba-tiba berdiri di dekatku.
Aku hanya tersenyum mendengar keluhan adikku.
Aku kemudian masuk kamar dan bercermin.
“Wah, mana Jubah Kinaraku?” tanyaku dalam hati.
Mimpiku tadi benar-benar mengasyikan, apalagi bagian yang ‘itu’. Aku bercermin sambil senyum-senyum sendiri. Hey, kalau tidak salah Narayan tuh wajahnya mirip banget dengan Rangga, temanku sekelas yang baru saja nelpon. Aku memandangi bayanganku di dalam cermin, aku sudah bukan lagi Faran Sang Kinara, aku adalah Arfan anak kelas dua SMU yang suka banget baca komik, pikirku. Aku tersenyum sendiri jika ingat kemarin Bu Widya merampas komikku ketika kubaca waktu pelajaran beliau.
Kemudian aku keluar kamar dan mengambil handuk, aku ingin mandi. Kulihat jam menunjukkan pukul setengah lima. Ternyata sudah sore, batinku. Kulihat Mama sedang menggoreng sesuatu di dapur ditemani Mbak Iyem.
“Arfan!” teriak Mama memanggilku.
“Ada apa Ma?” tanyaku.
“Tolong antar Nita les abis ini, soalnya Mama abis ini ada janji dengan Tante Ninik.” kata Mama.
Aku mengangguk. “Ya, Ma!” kataku sambil menuju kamar mandi.
Aku mandi sambil mengingat-ingat mimpiku yang baru saja. Sepertinya semua kejadian disana benar-benar nyata, apalagi bagian ‘itu’-nya. Aku memang diam-diam sejak kelas satu menyukai Rangga. Walaupun hanya mimpi, aku sudah cukup senang dapat bercinta dengan Rangga, pikirku.
********
Esok paginya, di kelas teman-teman ribut mengenai makalah Bahasa Indonesia yang harus dikumpulkan nanti jam ke tiga. Kulihat ada beberapa anak tidak mengerjakannya, termasuk Rangga.
“Kamu sudah mengerjakannya Fan?” tanya Rangga.
Aku mengangguk. “Sudah!”
“Sialan! Aku malas banget kemarin!” kata Rangga.
Aku hanya tertawa. Kemudian kusodorkan sebuah makalah dengan nama Rangga sebagai penyusunnya.
“Aku kemarin bikin dua, satunya buat kamu!”
Rangga tersenyum lebar. “Makasih lho Fan!” kata Rangga sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Kalo cuma kata makasih aja tuh rasanya hambar Ngga! Harusnya traktir makan kek!” kataku berseloroh.
“Iya deh, gampang! Tar pulang sekolah kita makan bakso.” kata Rangga.
“Aaah, kalo bakso kan tiap hari juga makan.. yang keren dong. Bakmi Gajahmada.. gitu.”
“Jangankan Gajahmada, Fan. Kalo untuk kamu Gajahmungkur sekalian..”
“Yee.. Gajahmungkur kan Waduk?”
“Yah, maksudnya kamu diceburin ke waduk!” kata Rangga asal.
“Sialan kamu!”
“Sudahlah, pokoknya nanti pulang sekolah kamu ke rumahku.”
“Asyik.. ada apa nih?”
“Pokoknya datang aja deh!”
Pelajaran hari itu benar-benar terasa membosankan. Setelah menahan selama delapan jam pelajaran, akhirnya selesai juga.
“Kamu disini dulu, aku mau ambil motor!” kata Rangga.
Aku mengangguk. Tak berapa lama berselang Rangga sudah naik motor dengan membawa dua buah helm. Rangga benar-benar merahasiakan kejutan apa yang sudah dibuatnya hingga aku penasaran.
“Ngga! Aku mau nanya boleh ngga?”
“Apaan?” tanya Rangga.
“Tapi kamu janji jangan ketawa mendengarnya.” kataku.
“Wah aku nggak janji, soalnya pertanyaan kamu kadang suka asal..”
“Sialan kamu! Eh, kamu pernah nggak mimpiin aku?” tanyaku.
“Mimpiin kamu? Hua hua hua..” Rangga tertawa, “Wah mimpiin kamu tuh rugi!”
“Sialan kamu!” kataku.
Tak lama kemudian aku sampai di rumah Rangga. Aku langsung masuk kamar mengikuti Rangga.
“Kita makan dulu yuk! Nanti kejutannya kalo udah makan.” ajak Rangga.
Aku menurut. Kulihat rumah Rangga sepi sekali. “Ngga, mana Mama dan adik-adik kamu?” tanyaku.
“Mereka sedang ke Surabaya. Ada sepupu yang nikah.” jawab Rangga.
“Ooo..” kataku.
Kemudian kami selesai makan, dan Rangga mengajakku menuju kamarnya.
“Mana kejutannya?” tanyaku.
“Ini..” kata Rangga sambil mencium bibirku.
Sesaat aku menikmatinya, kemudian tiba-tiba aku tersadar dan mendorong Rangga hingga terjatuh.
“Apa-apaan kamu Ngga?” tanyaku sambil spontan mengusap bibirku.
Rangga berdiri sambil berkata, “Biarkan angin menjadi temanku, dan jadilah api sebagai musuhku. Maka aku akan mengepakkan sepasang sayap emasku dan terbang mengelilingi Nydus, menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir.”
Aku terkejut sekali ketika Rangga mengucapkan kata-kata itu. Aku terkejut sekali hingga aku tidak dapat berkata apa-apa. Aku terkejut sekali hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika Rangga menciumku untuk yang kedua kalinya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT