Diario Segreto
- Home
- Cerita ngentot
- Diario Segreto
Diario Segreto
BAB 01
Aku ingin sekali membahagiakan hati Mama sebagai single parent – ku. Ingin segera mengubah kesengsaraan menjadi kesenangan semata. Tapi bagaimana caranya?
Di usia 24 tahun aku sudah meraih gelar sarjana psikologi dari sebuah universitas yang tergolong perguruan tinggi swasta terbaik di kotaku.
Tapi… meski sudah meraih gelar S. Psi, ternyata aku tidak mudah untuk mendapatkan kerja. Entah sudah berapa banyak kulayangkan surat lamaran ke perusahaan – perusahaan yang tadinya kuanggap mungkin bisa menerimaku. Tapi apa yang kudapatkan? Lebih dari 2 bulan aku sibuk melamar ke sana sini, jawabannya memang beragam, tapi kesimpulannya…
Aku sampai nyaris frustasi menghadapi kenyataan pahit ini.
Di bulan ketiga setelah diwisuda, kudapatkan juga pekerjaan itu. Menjadi kasir di sebuah café.
Tapi jauh dari harapan dan cita – citaku. Bekerja sebagai kasir di café ini sangat meletihkan. Karena aku harus mau membantu waiters di saat café sedang sibuk. Aku ikut melayani konsumen menghidangkan makanan pesanan mereka. Dan kalau sudah ada yang berdiri di depan meja kasir, aku harus setengah berlari ke belakang meja kasir.
Bukan cuma itu. Kalau aku kebagian shift malam, café ditutup jam sebelas malam. Tapi aku tidak bisa langsung pulang. Karena harus ikut beres – beres dulu sampai jam duabelas lebih. Dan baru tiba di rumah setelah jam satu pagi.
Apakah ini pekerjaan yang kjucari selama ini? Bahwa aku yang sudah S1 mendapat pekerjaan yang harus terpontang – panting setiap hari?
Karena itu diam – diam aku melamar ke sana – sini. Tapi aku tetap bekerja di café itu. Tujuanku, kalau aku sudah mendapat pekerjaan yang sesuai dengan harapan, aku akan resign dari café itu.
Sampai pada suatu saat…
Ketika aku sedang berada di belakang meja kasir, seorang lelaki menghampiriku, untuk membayar minuman dan snack yang telah dihabiskannya. Kutaksir usia lelaki itu sudah limapuluhan. Melihat dari bentuk dan sikapnya, aku yakin dia itu golongan menengah ke atas.
“Sudah lama bekerja di café ini?” tanya lelaki itu pada waktu menyerahkan uang untuk membayar sesuai dengan yang tertera di bon.
“Sudah setengah tahun Pak,” sahutku sambil mengoperasikan cash register. Lalu menyerahkan uang kembaliannya pada bapak itu.
“Pendidikannya sampai di mana?” tanyanya lagi.
“Saya… sarjana psikologi Pak.”
Bapak itu seperti berpikir sesaat. Lalu menyerahkan secarik kartu nama sambil berkata, “Kapan – kapan kalau mau bekerja mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, silakan hubungi saya ya.”
“Iya Pak. Terima kasih,” sahutku sopan, sambil memasukkan kartu nama itu ke dalam saku celana jeansku.
Aku tak berani melihat kartu nama itu secara jelas, karena takut kelihatan dan dimarahi oleh pemilik café.
Waktu menuju pulang di dalam sebuah angkot, barulah aku mengeluarkan kartu nama itu dari saku celana jeansku. Dan membacanya.
Ternyata nama Bapak itu Mathias, komisaris utama sebuah perusahaan besar yang pernah kukirimi lamaran lewat pos dan… menolak lamaranku dengan alasan belum ada lowongan.
Yang aku tahu, biasanya kedudukan komisaris utama itu diserahkan kepada pemilik saham terbesar di suatu perusahaan swasta. Dengan kata lain, bapak itu owner perusahaan yang pernah menolak lamaranku.
Tapi aku yakin Pak Mathias tidak tahu masalah penolakan lamaranku. Karena yang aku tahu, urusan lamaran kerja ditangani oleh manager personalia atau manager HRD. Bahkan mungkin ditangani hanya oleh stafnya saja, bukan oleh managernya.
Lalu apa yang harus kulakukan? Apakah aku hjarus menghubungi Pak Mathias lewat handphone atau datang sendiri ke kantornya? Bukankah di kartu nama ini ada alamat kantor berikut alamat rumahnya juga?
Bukankah aku membutuhkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikanku?
Beberapa hari kemudian, bapak itu datang lagi ke café tempatku bekerja, pada saat café sedang lumayan sibuk. Sengaja aku sendiri yang memberikan daftar menu padanya, supaya bisa sedikit berkomunikasi dengannya.
Benar saja, ketika ia sedang memegang daftar menu café, dia bertanya, “Bagaimana? Tertarik pada tawaran saya tempo hari?”
Aku menjawabnya secara to the point, karena takut ditegur pemilik café kalau terlalu lama berdiri di dekat meja konsumen. “Kalau saya mau menghadap ke kantor Bapak, kapan saya harus ke sana?”
“Ke rumah saja, jangan ke kantor. Besok sebelum jam sepuluh pagi saya masih ada di rumah,” sahutnya, “alamat rumah saya ada di kartu nama yang tempo hari saya kasih kan?”
“Siap Pak. Besok saya akan ke rumah Bapak.”
“Ohya… siapa namanya?”
“Nama saya Pamela, Pak.”
“Pamela… “gumamnya seperti menghapalkan namaku.
Lalu aku kembali lagi ke belakang meja kasir, setelah menyerahkan bon pesanan Pak Mathias ke pegawai kitchen.
Pada waktu membayar makanan dan minuman yang sudah dihabiskannya, Pak Mathias sempat berkata perlahan padaku, “Besok pagi saya tunggu ya.”
“Siap Pak,” sahutku sambil memberikan uang kembalian padanya, yang ditolaknya sambil berkata, “Ambil aja kembaliannya.”
Kemudian ia meninggalkan café.
Meninggalkanku dengan penuh harapan. Agar bisa bekerja di kantor. Bekerja dengan tenang dan menggunakan otakku secara profesional. Bukan menggunakan tenaga seperti di café ini.
Keesokan paginya, aku berangkat menuju alamat rumah Pak Mathias, dengan membawa map berisi berkas lamaranku.
Jam sembilan pagi aku sudah berada di depan pintu gerbang sebuah rumah yang seolah istana di zaman Romawi, karena rumah Pak Mathias itu benar – benar klasik, dengan tiang – tiang berukir di dasar dan puncaknya.
Seorang satpam menghampiriku sambil bertanya, “Mau ke mana Mbak?” tanyanya.
“Mau ketemu dengan Pak Mathias,” sahutku.
“Oh… sudah ada janji?”
“Sudah,” jawabku sambil mengangguk.
“Maaf… siapa namanya?” tanyanya lagi.
“Pamela,” sahutku.
“Sebentar, saya mau laporkan dulu kepada Boss ya,” ucap satpam itu sambil bergegas menuju pos satpam yang berada di dekat pintu gerbang. Kemudian kulihat dia berbicara di pesawat telepon. Dan kembali lagi menghampiriku sambil berkata, “Silakan masuk ke pintu ketiga dari sebelah kiri Mbak.”
“Iya, terima kasih,” sahutku sambil melangkah ke arah pintu yang ditunjukkan itu, ddengan jantung berdebar – debar. Karena baru sekali inilah aku berkunjung ke rumah yang segini megahnya, bahkan layak disebut istana. Bukan sekadar rumah.
Pintu yang kutuju langsung terbuka sendiri ketika aku sudah berdiri di depannya. Dan Pak Mathias tampak sudah duduk di sebuah kursi yang seolah singgasana raja di mataku.
“Selamat pagi Pak Boss,” ucapku sambil mengngangguk sopan.
“Pagi… duduklah,” kata Pak Mathias sambil menunjuk ke sofa yang terdekat dengan kursi mewahnya.
Aku pun duduk sambil menundukkan kepala di sofa yang ditunjukkan oleh Pak Mathias, sambil meletakkan map berisi berkas lamaran di atas lututku.
“Map apa itu?” tanya Pak Mathias
“Surat lamaran dan persyaratan lainnya Pak Boss.”
“Coba lihat, “pintanya.
Dengan tangan agak gemetaran kuserahkan map berisi surat lamaran, fotocopy ijazah, surat kelakuan baik dan sebagainya ke tangan Pak Mathias.
Pak Mathias memeriksa berkas lamaran itu, terutama pada ijazah S1-ku. Lalu map itu ditutupkan lagi. Dan berkata, “Sebenarnya aku bukan hanya akan menempatkan Pamela untuk bekerja di perusahaanku. Ada suatu kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada sekadar jadi karyawati di perusahaanku.”
Aku ingin bertanya tapi tidak berani mengucapkannya. Maka aku diam saja, sambil sesekali memandang ke arahnya.
“Aku ingin menjadikan Pamela sebagai calon istriku,” ucap Pak Mathias selanjutnya, membuatku tersentak kaget.
“Aku ini duda yang punya anak lima. Dua cewek dan tiga cowok. Yang cewek sudah pada nikah dan dibawa oleh suaminya masing – masing. Dua anak cowok kuliahnya di Amerika dan di Kanada. Jadi yang tinggal bersamaku hanya anak paling kecil. Tapi usianya sudah delapanbelas tahun. Bukan anak – anak yang harus diurus oleh orang tua lagi.
Aku cuma menundukkan kepala. Tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan. Karena ucapan Pak Mathias itu seolah “lamaran” bagiku. Lamaran untuk memperistrikanku.
Sedikit pun aku tak menduga bahwa aku diminta datang ke istananya ini untuk menyampaikan “tawaran”nya itu.
Sedangkan aku sudah mengikat janji dengan Ricky, yang sudah hampir lima tahun menjadi pacarku. Bahkan Ricky pun sudah merenggut kegadisanku. Bagaimana mungkin aku menerima keinginan Pak Mathias? Apalagi kalau mengingat usianya yang mungkin sudah dua kali usiaku.
Tapi bukankah ini jalan keluarku untuk membahagiakan Mama yang sering mengeluh tentang kesulitan – kesulitannya dalam soal kehidupan sehari – hari? Bukankah cita – cita utamaku ingin membahagiakan Mama?
“Bagaimana?”
Aku memandangnya sesaat, lalu menunduk lagi sambil mempermainkan jari tanganku.
“Memang tak usah dijawab sekarang. Silakan dipikirkan dulu sebaik mungkin. Tak usah terburu – buru. Dijawab sebulan atau dua bulan lagi pun tidak apa – apa.”
Batinku terhuyung – huyung dalam perjalanan pulang dari rumah yang laksana istana kekaisaran Romawi itu.
Hari itu aku kebagian shift malam di café. Sehingga aku bisa pulang ke rumah dulu. Bisa curhat dulu kepada Mama.
Kuceritakan semua yang baru kualami itu. Dan Mama mendengarkannya dengan seksama.
Lalu kata Mama: “Di zaman sekarang perkawinan dengan perbedaan usia yang sangat jauh, bukan hal aneh lagi. Bahkan mendingan nikah dengan lelaki yang jauh lebih tua. Karena lelaki yang sudah tua sudah melepaskan egonya. Lalu dia akan memanjakan dan membahagiakanmu. Apalagi kalau dia orang tajir. Kamu bisa begelimang harta Pam.
“Tapi bagaimana dengan Ricky? Mama kan tau kalau aku sudah lima tahun menjalin hubungan dengannya,” sahutku.
“Iya… selama lima tahun tanpa kepastian, mau dibawa ke mana hubunganmu dengan Ricky itu?” ucap Mama dengan tatapan tajam.
Aku tertunduk. Memang ucapan Mama itu seolah menyadarkanku. Bahwa selama berhubungan dengan Ricky, aku tak pernah mendengar rencana kawin dari Ricky. Seolah hubunganku dengannya cuma untuk “just have fun” semata. Dan kalau bicara tentang masa depan, Ricky bukan sosok yang menjanjikan bagiku. Karena Ricky hanya punya modal tampang doang, sementara pekerjaannya hanya nyalo sana nyalo sini.
Mama tidak mendesakku untuk menerima Pak Mathias sebagai calon suamiku. Tapi dari nada bicaranya, kelihatannya Mama memihak kepada pengusaha tajir melilit itu. Sedangkan cita – cita utamaku adalah ingin membahagiakan Mama. Karena Mama adalah segalanya bagiku.
Tapi aku masih bingung. Jalan mana yang harus kutempuh? Tetap menjalin hubungan dengan Ricky yang tanpa kepastian masa depannya? Atau menerima Pak Mathias sebagai calon suamiku, dengan harapan ingin menaikkan derajat Mama dan menyenangkan hatinya?
Berhari – hari aku mempertimbangkan semuanya itu. Sementara aku masih tetap bekerja di café.
Dan pada suatu hari, Pak Mathias datang lagi ke café. Biasa, untuk menikmati black coffee dan snack croissant isi daging dua buah. Pada waktu membayar di depan cash register yang selalu kuoperasikan, Pak Mathias bertanya perlahan, “Sudah ada keputusan?”
“Belum Pak. Masih bingung,” sahutku tanpa berani menatapnya.
“Besok kerja siang apa malam?”
“Siang Pak.”
“Pulang jam berapa?”
“Jam lima sore.”
Lalu Pak Mathias menawarkanku untuk ketemuan di sebuah café yang terletak dalam sebuah mall setelah aku pulang kerja. Aku pun berpikir sejenak. Dan akhirnya mengangguk dengan sikap canggung.
Kemudian Pak Mathias membayar kopi dan croissant itu. Dan seperti biasa, dia tidak mengambil kembaliannya.
Kemudian dia berlalu. Meninggalkanku dalam kebingungan.
Tapi keesokan sorenya, setelah jam kerjaku selesai, aku tetap menuju cafed yang berada di dalam mall itu, untuk memenuhi janjiku.
Sebenarnya hatiku sudah condong – condong ke arah Pak Mathias. Dan berniat untuk memutuskan hubunganku dengan Ricky yang tanpa kejelasan masa depannya itu.
Karena itu aku berusaha untuk tersenyum ketika melihat Pak Mathias sudah menungguku di café yang dijanjikan itu.
Begitu aku duduk berhadapan dengan Pak Mathias, dibatasi oleh meja kecil café itu, Pak Mathias langsung mengeluarkan sebuah kotak kecil yang dilapisi kain beludru berwarna merah. Ia membuka kotak kecil itu dan memberikannya padaku sambil berkata, “Ini hanya tanda seriusnya hatiku untuk menjadi calon suami yang bertanggung jawab pada masa depanmu, Pam.
Batinku jadi limbung melihat isi kotak kecil itu, yang ternyata sebentuk cincin emas bermata berlian yang berkilauan…!
Tangan Pak Mathias memasangkan cincin itu di jari manis kiriku. Lalu berkata, “Kebetulan ukurannya ngepas ya?”
Aku cuma mengangguk perlahan. Dengan terawangan melayang – layang. Kata – kata Mama pun terngiang – ngiang lagi di telinga batinku. Bahwa Pak Mathias itu memberikan kesempatan teramat baik bagiku. Kesempatan untuk hidup secara layak. Dan kesempatan itu takkan datang dua kali.
“Sebulan lagi aku mau terbang ke luar negeri,” kata Pak Mathias ketika aku masih melirik – lirik ke arah cincin berlian yang sudah terpasang di jari manisku, “Kalau bisa, keputusan itu bisa Pamela katakan sebelum aku terbang ke luar negeri.”
“Maaf… kalau boleh saya ingin bertanya,” sahutku.
“Mau nanya masalah apa? Tanyalah, jangan ragu – ragu.”
“Kenapa Bapak serius mau menikahi saya?”
Pak Mathias tersenyum. Lalu memegang tanganku yang terletak di atas meja café. Dan berkata, “Karena kamu cantik dan sangat menarik bagiku, Pam.”
“Tapi saya orang tak punya Pak.”
“Hanya lelaki gak bener yang mengharapkan harta istrinya. Dengan kata lain, aku tidak mengharapkan hartamu serupiah pun. Yang penting, kamu bisa mendampingiku sebagai istri yang akan membuatku bangga.”
“Bagaimana Bapak bisa membanggakan saya, sedangkan saya begini adanya?”
“Pamela,” ucap Pak Mathias sambil memegang kedua tanganku, “Dalam keadaan tidak berdandan saja kamu sudah kelihatan cantik begini. Apalagi kalau sudah kudandani nanti. Pokoknya Pamela adalah wanita tercantik di antara wanita – wanita yang pernah kukenal. Tercantik dan termuda pula.”
Hatiku jadi besar setelah mendengar ucapan itu. Tapi mungkinkah dia masih akan berkata seperti itu setelah mengetahuiku tidak perawan lagi? Inilah salah satu masalah yang selama ini mengganjalku.
Sehingga aku belum juga mengatakan “iya” pada “tembakan” Pak Mathias. Meski cincin pemberiannya masih melingkari jari manisku pada hari – hari berikutnya.
Hari – hari yang mengambang itu hanya belasan hari. Karena pada suatu hari Pak Mathias menemuiku di tempat yang sudah dijanjikan. Kemudian aku masuk ke dalam mobil mewahnya, setelah sopir bergegas turun dan membukakan pintu belakang kiri, di mana Pak Mathias sedang menunggu di sebelah kananku.
“Aku mau membawamu ke villaku ya,” bisik Pak Mathias di dekat telingaku.
Aku cuma mengangguk pasrah. Karena hatiku sudah bertekad untuk mengiyakan apa pun yang diinginkan olehnya. Termasuk ajakannya untuk menikah dengannya. Hanya belum kuucapkan secara lisan.
Di sepanjang perjalanan menuju villa, tangan kananku selalu berada di dalam genggaman Pak Mathias. Terkadang ia meremas tanganku dengan lembut, sehingga bathinku merasa seolah sudah menjadi miliknya.
Hanya sejam lebih waktu yang dibutuhkan untuk mencapai villa Pak Mathias. Kemudian dengan cara yang gentle Pak Mathias turun dulu dan setengah berlari menuju pintu di sebelah kiriku. Kemudian pintu itu dibukanya dari luar. Dan tangannya dijulurkan untuk membantuku turun dari mobil mewahnya.
Di dalam villa inilah aku sudah mempersiapkan mentalku.
Sehingga ketika aku duduk berdampingan di atas sofa, ketika tangan Pak Mathias menyelinap ke balik gaunku dan bahkan menyelinap ke balik celana dalamku, dengan teguh batinku berkata, apa yang mau terjadi, terjadilah. Seandainya dia menyetubuhiku pun takkan kutolak. Hitung – hitung memnilainya, apakah dia akan tetap membutuhkanku setelah selesai menyetubuhiku kelak atau sebaliknya.
Batinku pun memutuskan bahwa di villa ini aku seolah berada di batu loncatan. Apakah aku akan berhasil melompatinya atau tidak. Kalau gagal, aku akan kembali ke asalku. Tapi kalau berhasil, derajatku dengan sendirinya akan terangkat ke atas, sebagai wanita terhormat di samping sang Boss.
Kebetulan pula Pak Mathias pandai merawat tubuhnya, mungkin dengan olah raga dan tidak sembarangan makan makanan yang bisa membuatnya lepas kontrol. Entahlah. Yang jelas, meski usianya sudah kepala lima, perut Pak Mathias tidak buncit. Bahkan tampak bentuk sixpack yang sangat diidamkan oleh kaum pria.
Maka… ketika aku merasakan batang kemaluan Pak Mathias mulai membenam ke dalam liang vaginaku, lalu kudengar bisikannya, “Bagaimana? Sekarang sudah siap untuk menikah denganku atau tidak?”
Sambil melingkarkan lenganku ke leher lelaki gagah meski sudah berusia setengah abad lebih itu, aku menyahut sambil merapatkan pipiku ke pipinya, “Kalau tidak menerima Bapak sebagai calon suamiku, takkan mungkin kubiarkan Bapak memperlakukanku sampai sejauh ini…”
“Hahahaaa… syukurlah. Berarti Pamela akan menjadi permaisuriku, yang akan kucinta dan kusayang dengan segenap jiwaku…” ucapnya sambil mulai mengayun penisnya di dalam liang kemaluanku.
Gesekan demi gesekan penis Pak Mathias di liang kewanitaanku, membuatku jadi lupa segalanya. Yang kuingat cuma satu. Bahwa penis Pak Mathias ini gagah sekali. Meski usianya sudah lebih dari setengah abad, namun ia mampu menaklukkanku. Mampu membuatku menggeliat – geliat dalam arus nikmat yang tengah kunikmati, mampu membuat tubuhku mulai lembab oleh keringat.
Bahkan lalu Pak Mathias menjilati leherku ketika aku masih lemas karena baru habis orgasme. Namun gairahku bangkit kembali beberapa detik kemudian.
Gairah yang membuatku mulai berani untuk menciumi bibir Pak Mathias yang berkumis tipis itu. Bergairah untuk balas menjilati lehernya, dengan celucupan – celucupan mesra. Semesra mungkin. Karena aku akan menggantungkan masa depanku padanya.
Lalu… ketika penis Pak Mathias dibenamkan dan diikuti dengan pancaran spermanya yang bertubi – tubi, aku memejamkan mataku erat – erat. Dalam nikmat tiada taranya.
lalu kubiarkan ia terkapar lemas di atas perutku.
Dan ketika ia mencabut penisnya dari liang sanggamaku, masih sempat aku bertanya lirih, “Bagaimana kalau hamil nanti Pak?”
“Hamil ya hamil aja. Dua minggu lagi juga kita kawin,” sahut Pak Mathias disusul dengan kecupan hangatnya di bibirku.
“Lho… bukannya Bapak mau ke luar negeri?” tanyaku.
“Diundurkan beberapa hari,” sahut Pak Mathias, “Karena aku ingin kawin dulu denganmu. Jadi, sepulangnya dari villa ini, nanti aku harus menjumpai ibumu. karena ayahmu sudah tiada kan?”
“Iya Pak. Tapi jangan diketawain nanti ya Pak. Rumah kami cuma rumah kecil dan sudah tua.”
“Siapa yang akan ngetawain? Kan aku sudah bilang, aku tidak butuh hartamju serupiah pun. Aku hanya ingin dirimu seutuhnya sebagai calon permaisuriku… “lagi – lagi Pak Mathias mencium bibirku dengan hangatnya, “Ohya… mulai sekarang panggil aku papie aja ya. Aku pun akan memanggilmu Mamie, meski Pamela jauh lebih muda dariku.
Ucapan itu sangat membesarkan hatiku. Berarti dia tidak memasalahkan keadaanku yang tidak perawan lagi ini. Maka aku pun bertekad untuk tidak membahas masalah yang satu itu. Kecuali kalau dia menanyakannya.
Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk di samping kiri Pak Mathias lagi, di seat belakang mobil mewahnya. Menuju rumahku. Dan aku sudah mengirim berita lewat handphoneku kepada Mama, bahwa Pak Mathias akan datang bersamaku. Entah untuk apa. Yang jelas aku minta agar Mama membersihkan dan menata rumah secepatnya, agar jangan terlihat berantakan.
Rumah Mama terletak di dalam gang yang tidak jauh dari mulut gang. Hanya sebuah rumah kecil yang sederhana.
Mama tampak senang sekali melihat kedatanganku bersama lelaki yang usianya lebih tua dari Mama. Seingatku usia Mama baru 45 tahun, sementara Pak mathias sudah 52 tahun menurut pengakuannya.
Tapi Pak Mathias mencium tangan Mama ketika baru dipersilakan masuk ke dalam ruang tamu yang sempit ini. Kemudian Pak Mathias mengatakan bahwa beliau berniat menikahiku paling lambat dua minggu lagi.
Untungnya Mama tidak kelihatan gugup. Dengan tenang Mama berkata, bahwa keputusannya terletak pada diriku sendiri, sedangkan Mama hanya bisa merestui saja apa pun keputusanku ini.
Pada saat Mama masuk ke dalam, untuk menyiapkan minum buat tamunya, Pak Mathias berbisik ke telingaku, “Nanti ajak mamamu ke rumah yang sudah kusediakan.”
“Rumah?” tanyaku heran.
“Ya. Rumah untuk Pamela dan Mama. Jadi nanti akad nikahnya di situ aja. Aku takkan mengundang banyak orang, cukup dihadiri oleh tiga orang anakku yang ada di sini. Sedangkan anak – anak yang sedang kuliah di luar negeri, cukup dengan diberitahu saja.”
“Anak – anak Papie bakal setuju?” tanyaku.
“Mereka tak pernah membantah pada apa pun yang sudah kuputuskan.”
Sejam kemudian, aku dan Mama sudah berada di dalam mobil Pak Mathias yang mulai sekarang harus kubiasakan memanggilnya Papie, di jok belakang. Sementara Papie duduk di depan, di samping sopirnya.
Mobil Papie dihentikan di depan sebuah rumah yang cukup megah, meski tidak semegah rumah Papie yang laksana istana di jaman Romawi itu.
Di dalam rumah yang perabotannya sudah lengkap dan serba baru itu Papie berkata kepada Mama, “Kalau bisa, mulai besok Ibu dan Pamela mulai pindah ke rumah ini. Rumah yang akan menjadi milik Pamela ini. Jadi akad nikahnya pun kita laksanakan di sini saja. Setelah akad nikah, Pamela akan dibawa ke rumah saya.
“Ada, “Mama mengangguk, “walinya paman Pamela, adik kandung ayahnya.”
“baguslah kalau ada walinya. Nanti kita tak usah bikin pesta ya Bu. Yang penting sah aja dulu. Soalnya dua hari kemudian saya harus terbang ke luar negeri. Mungkin Pamela juga akan dibawa.”
“Keluarga Papi yang akan menghadiri akad nikah itu berapa orang kira – kira?”
“Mmm… sekitar tujuh orang saja. Mungkin keluarga Pamela juga akan ada yang hadir kan?”
“Ada,” sahut Mama, “tapi takkan banyak. Sekitar sepuluh orang saja.”
“Nah… masalah catering pada hari akad nikah itu, biar saya yang atur semuanya. Ibu tak usah repot – repot.”
Kemudian Papie menyerahkan dua lembar cek, sambil berkata, “Itu untuk membeli baju pengantin dan sebagainya. Dan yang selembar lagi ini untuk membeli mobil besok. Supaya Pamela jangan kelihatan kecil di mata keluargaku pada waktu mereka datang ke sini nanti.”
Lalu Papie berbisik di dekat telingaku, “Kalau ada lebihnya, kasihkan ke Mama aja.”
Aku mengangguk dengan tangan gemetaran. Karena kaget setelah melihat nominal yang tertulis di kedua lembar cek itu. Tak kusangka Papie sudah sebegitu seriusnya ingin memperistrikanku…!
Yang mengejutkan adalah laporan Mama keesokan harinya. Pada saat aku sedang berdandan untuk nyari mobil baru seperti yang disuruh oleh Papie kemaren, Mama menghampiriku. Dan berkata, “Kemaren siang, sebelum kamu pulang, Ricky datang.”
“Haa?! Mau ngapain dia?” tanyaku kaget.
“Dia mengadu sama mama.”
“Mengadu soal apa?”
“Mengadu karena hubungannya denganmu diputuskan olehmu. Dia sampai bercucuran air mata waktu mengadu kepada mama itu. Karena dia masih mencintaimu.”
“Terus Mama bilang apa?”
“Mama cuma berusaha menghiburnya. Mama bilang jodoh itu tidak bisa dipaksakan. Semoga saja dia takkan dendam padamu.”
“Ya… jangan sampai dia mengganggu rumah tanggaku setelah menjadi istri Pak Mathias nanti. Lagian seperti Mama bilang, hubunganku dengan Ricky tak jelas masa depannya. Untuk membayar cicilan motornya saja dia sering minjam uangku. Untuk beli rokok pun dia suka minjam duit padaku. Minjam – minjam yang tak pernah dibayar.
“Iya sih. Kalau hubunganmu dengan Ricky dipertahankan, paling juga dia bakal jadi benalu nantinya.”
Masalah Ricky pun langsung kulupakan. Karena aku sedang konsentrasi menghadapi pernikahanku dengan Papie nanti. Membeli mobil baru yang sangat kudambakan sejak lama, sebuah sedan matic berwarna merah metalik. Memesan gaun pengantin. Membelikan pakaian untuk Mama dan sebagainya. Untungnya aku sudah trampil dalam mengemudikan mobil, karena waktu masih kuliah sering diajari oleh Destini, teman kuliahku yang sudah menjadi sahabat terdekatku di kampus.
Dengan dua lembar cek dari Papie yang sudah kucairkan, semua masalah keuangan tidak ada lagi. Bahkan setelah membeli segala perlengkapan untuk pribadiku dan untuk Mama, masih banyak sisa duitnya di dalam tabunganku.
Pada hari itu pula Mama kuajak pindah ke rumah megah hadiah dari Papie itu. Barang – barang di rumah Mama tidak perlu dipindahkan ke rumah megah ini. Rumah Mama pun cukup dengan dkikunci saja, kemudian Mama kubawa pindah ke rumah megah yang furniture segala peralatan elektroniknya sudah lengkap semua.
Hari demi hari pun berputar terus…
Dua hari menjelang pelaksanaan akan nikah, Papie mengajakku ke rumahnya yang laksana istana itu.
Ternyata kedua anak perempuan Papie beserta suaminya masing – masing sudah menungguku di sana. Papie pun lalu mengenalkan mereka kepadaku seorang demi seorang.
“Ini anak sulungku, Cinthia namanya. Dan itu suaminya bernama Walter,” kata Papie. Kemudian Papie menengok ke arah anak dan menantunya, “Mulai saat ini kalian harus memanggil Mamie padanya, yang dua hari lagi akan diresmikan sebagai istri papie.”
Kemudian Cinthia (yang usianya mungkin lebih tua dariku) berjabatan tangan denganku, lalu mencium pipi kanan dan pipi kiriku diikuti dengan bisikan, “Titip Papie ya Mam.”
Aku cuma menjawabnya dengan anggukan kepala sambil tersenyum.
Papi pun mengenalkan anak keduanya bersama suaminya, “Ini anak keduaku. Namanya Monica dan itu suaminya bernama Laurent. “Kemudian Papie menoleh ke arah anak kedua dan menantunya sambil berkata, “Kalian juga harus memanggilnya Mamie kepada calon istri papie ini.”
Monica dan suaminya pun menjabat tanganku disusul dengan cipika – cipiki. Pada saat cipika – cipiki denganku, Monica pun berbisik di dekat telingaku, “Semoga Mamie bisa membahagiakan Papie ya.”
Aku mengangguk lagi sambil tersenyum.
Kemudian Papi berseru – seru, “Boooy! Boyke !!!”
Terdengar suara cowok menyahut, “Yaaa… !”
Lalu muncul cowok yang kutaksir berusia 18 tahunan. “Ada apa Pap?” tanyanya.
“Ini kenalan dulu sama calon istri papie,” kata Papie sambil memegang pergelangan tangan cowok itu. Lalu menoleh padaku, “Kini anak bungsuku, Boyke namanya,” kata Papie. Sementara cowok bernama Boyke itu tampak cuek sekali. Memandang ke arahku pun tidak.
“Ayo jabatan tangan dulu dengan calon mamiemu itu,” kata Papie kepada anak bungsunya.
Cowok bernama Boyke itu menjabat tanganku sambil menunduk, kemudian pergi lagi meninggalkan kami yang masih berada di ruang keluarga ini.
Papie bergegas mengejar anak bungsunya, sementara anak sulung Papie yang bernama Cinthia itu menghampiriku sambil berkata perlahan, “Boyke memang begitu. Sejak ibu kami meninggal, Boyke jadi berubah. Jadi bandel sekali. Kuliah nggak mau, disuruh kerja di perusahaan Papie juga gak mau. Jadi kerjanya cuma makan, ngeluyur dan tidur.
Aku tidak berani menanggapi ucapan anak sulung Papie itu. Cuma mengangguk – angguk saja sambil tersenyum.,,,,,,,,,,,,,,,